Senin, September 16, 2013

And The Mountains Echoed by Khaled Hosseini

Judul Buku          : And The Mountains Echoed 
Penulis                 : Khaled Hosseini
Penerbit              : Qonita (grup Mizan)
Tahun                   : Juli  2013
Hal                          : 512
Gema Pegunungan
Resensor : Rina Susanti



And The Mountains Echoed  adalah novel ketiga Khaled Hossaeni, penulis berdarah Afganistan yang kini bermukim  di Norther Carolina, Amerika.  Dua novel sebelumnya   The Kitte Runner dan A Thousand Splendid Suns adalah novel best seller Internasional dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Novel ini berkisah tentang kakak beradik Abdullah dan Pari. Sejak Ibu mereka meninggal karena pendarahan ketika melahirkan Pari dan Ayah menikah lagi dengan Parwana, Abdullah bukan sekedar kakak  bagi Pari tapi sekaligus Ayah dan Ibu. Abdullah yang menggantikan popok Pari, menatih, menimang, membantu mengambil langkah pertama dan memahami kata pertama yang diucapkan Pari. Pengabdian yang dilakukan Abdullah dengan keluguan dan kepolosannya terlebih karena rasa kasih sayang terhadap Pari yang begitu besar. Bagi Abdullah, Pari adalah semestanya.

Kemiskinan memisahkan mereka, Ayah menjual Pari pada sepasang suami istri kaya di Kabul melalui Nabi, yang tak lain adalah adik dari Ibu tiri mereka. Abdullah menanggung luka tak terperi karena kehilangan Pari. Luka yang ditanggung sepanjang ingatannya.  Abdullah  mengabadikan Pari dengan menamai putrinya Pari. Sebaliknya, Pari yang saat itu baru berumur 3 tahun, dengan mudah melupakan ingatannya tentang Abdullah, Ayah dan kehidupan di desa Shadbagh yang miskin dan tandus. (hal 67)

Bagi Pari kehidupannya di mulai di sebuah rumah besar di Kabul, Ayahnya seorang kaya yang berpembawaan serius, dingin dan memiliki  hobi menggambar bernama Suleiman Wahdati, sementara Ibunya Nila Wahdati, perempuan keturunan Prancis yang sangat cantik.   Saat usia Pari 6 tahun,  Suleiman Wahdati terserang stroke dan Nila Wahdati memutuskan membawa Pari menetap di Paris, Prancis.

Seiring waktu, Pari mulai menyadari betapa banyak perbedaan dirinya dengan orang yang selama ini dianggapnya sebagai Ibu dan Ayahnya,   baik secara fisik maupun karakter bersamaan dengan itu pula ia mulai menyadari jejak kekosongan di hati dan pikirannya yang tidak ia pahami mengenai kehidupannya dulu di Afganistan. Keping kenangan yang selalu ia pertanyakan namun selalu disembunyikan Nila Wahdati.
Melalui surat yang titipkan Nabi pada Markos,  seorang dokter relawan di Kabul Afganistan, misteri kehidupan Pari mulai terbuka. Pari mengunjungi Afganistan dan dari sana ia menjadi tahu keberadaan Abdullah yang kini tinggal di Amerika dan memiliki kedai makanan.

Mungkin ini yang dikatakan bahwa ketulusan cinta mampu menggemakan seluruh gunung untuk memanggil belahan jiwanya. Sayang saat mereka bertemu, Abdullah telah kehilangan seluruh ingatannya.
Seperti  dua novel sebelumnya, novel   ini berlatar belakang  kehidupan di Afganistan yang keras. Alamnya yang tak mudah ditaklukan, konflik perebutan kekuasan, narkotika dan budayanya yang paternalistik.  Namun novel ini lebih menarik karena penokohan, sudut pandang, alur yang terjalin komplek dan kedalaman deskripsi yang baik dan lugas.  Penulis menerapkan sudut pandang yang berbeda pada  beberapa tokoh, begitu pun alur.

Semua tokoh dalam cerita ini, walaupun bukan tokoh utama sehadirannya menjadi penting karena memiliki peran yang tertaut dengan keseluruhan latar belakang dan alur cerita. Seperti kehadiran tokoh Timur dan Indris, anak-anak Afganistan kaya raya yang mengungsi ke Amrika ketika perang pecah. Melalui sudut pandang mereka penulis mengkritisi sikap para pengungsi yang  pulang kampung hanya untuk merebut kembali sepetak tanah milik mereka dulu dan menonton sisa-sisa kekejam perang melalui foto dan video kemudian berjanji untuk memberikan bantuan namun kabarnya tidak pernah terdengar lagi. (hal 176)

Lewat tokoh Adel, penulis membuka fakta bahwa Afganistan tak bisa lepas dari narkotika dengan selubung jihad. Tokoh Nila Wahdati dengan puisi-puisinya yang kontroversial mewakili para perempuan Afganistan yang menolak budaya paternalistik atas nama agama.

Yang menarik adalah kehadiran tokoh Thalia, yang jika dilihat dari keselurahan cerita tidak memiliki peran yang tertaut dengan jalan cerita.  Kehadiran Thalia dengan kecatatan wajah dan sikap menerimanya bertolak belakang dengan tokoh Nila wahdati. Saya pikir ini cara penulis menyampaikan kritik sosialnya bahwa kebebasan tidak absolut. Bahwa setiap wanita memiliki persepsi berbeda mengenai makna kebebasan. (hal 352)


Tak berlebihan jika New York Times berkomentar bahwa Khaled Hosseini memiliki kekuatan sebagai juru dongeng. (rs)

2 komentar:

momtraveler mengatakan...

Huuaaaa.... Aku pun bgt baca novel ni mak. Baca resensi ini jd makin ngiler deh.. Khaled Hosseini mang top abis . bis ni lgs cuzz ke toko buku.. :)

Rina Susanti mengatakan...

bikin haru bukunya .... dan mengetuk sisi kemanusian...

Posting Komentar