Judul Buku ; Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia
Halaman : 494
ISBN : 978-979-22-8879-7
Terbit : September 2012
Prolog
Dua tahun lalu, saat pertama
melihat novel ini di tokbuk di rak best seller langsung membuat saya tertegun.
Siapa Laksi Pamunjak? Rasanya saya baru mendengar namanya? Akh, tentu saja saya
tidak tahu kalau di hitung-hitung sudah hampir 5 tahun saya ‘puasa’ baca novel
tepatnya sejak menikah dan memiliki anak, prioritas buku parenting. Padahal
sebelumnya saya addict baca novel.
Membaca endorsment buku ini makin
membuat penasaran sekaligus bertekad harus beli harus baca.
Amba adalah novel terbaik setelah tetralogi Bumi Manusia . JB Kristanto
Wow, benarkah? Saya termasuk
penyuka novel-novel PAT dan mengkoleksinya sejak kuliah.
Sebulan setelah itu, saya membeli novel ini
dan selesai membacanya dalam waktu tak sampai seminggu. Niat meresensinya ciut
mengingat ketebalan (494 hal, ukurna buku besar pula), diksi dan setting dalam
novel ini yang membuatnya memiliki kualitas tersendiri.
Jadi yang saya tuliskan di sini bukan resensi tapi opini bebas
Halaman pertama novel ini sudah
cukup membuat saya merinding. Di pulau
Buru, laut seperti seorang ibu; dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca
yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan
mengungkap apa yang hilang oleh silau (hal 15).
Buru saksi sejarah bagaimana
orang-orang menanti ketidakpastian antara hidup dan mati.
Yap, novel ini berlatar belakang
tragedi 1965, tentang sepasang kekasih Amba dan Bhisma. Yang membuat novel ini
menarik, best seller dan mendapat banyak pujian jelas bukan sekedar kisah
cintanya tapi sejarah yang menjadi setting dan latar belakang kedua tokoh ini.
Fiksi yang di dukung riset
panjang, dari mewawancarai tapol eks Buru, buku yang di tulis eks Buru sampai
kunjungan penulis ke Buru. Walaupun
tentu saja tidak bisa di jadikan sandaran sejarah tapi buku ini membuka sisi
kemanusian dari tragedi 65 kedua pihak yang bertingkai.
Bukan tentang siapa yang salah
dan salah siapa. Tepat seperti kalimat yang saya kutif dari halaman 44; Sejarah
adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati.
Seperti halnya Bhisma, yang terseret
ke Buru.
Bhisma berasal dari keluarga
terpandang secara ekonomi, Ayahnya seorang pemilik penerbitan. Tak heran jika
keluarganya memiliki kemampuan menyekolahkannya ke luar negeri. Ia menghabiskan
masa 13 tahun di dua kotadi Eropa, Lieden (belanda) dan Liepzig (Jerman Timur), sampai akhirnya meraih
gelar dokter. Kedekatan Bhisma dan Gerard, pemuda Ambon. (catatan; Belanda menyediakan
kamp. Penampungan bagi keluarga Ambon yang setia/memihak pada Belanda saat
jaman penjajahan, namun di sana mereka menjadi warga kelas 2), mengenalkan Bhisma
pada ide komunisme dan Rose Luxemburg* melalui Buku dan perkenalannya ke kamp. Penampungan
bekas KNIL.
Bersama Gerard Bhisma mengikuti
Festival Pemuda Sedunia di BerlinTimur. Di sanalah Bhisma berkenalan dengan
pemuda dan seniman-seniman Indonesia pro komunis. Baik mereka yang sengaja
datang langsung dari tanah air untuk menghadiri festival ini maupun pemuda
Indonesia yang bersekolah di sana.
Pandangan politik Bhisma dan kegamangannya di
sajikan dalam bentuk penceritaan (semacam curhat) kepada Amba kekasihnya, seorang
mahasiswa jurusan Bahasa Inggris UGM yang lugu secara politik, di besarkan
dalam tradisi Jawa yang berkarakter sederhana.
“Kasihan. Kasihan kawan tadi. Ia
tidak tahu, mungkin tidak mau tahu, di Jerman, di seluruh Eropa Timur, Stalin
benar-benar sudah mati, dikuburkan bersama seluruh fatwanya. Aku tahu waktu
itu teman-temanku merasa seperti ada
gunung besar yang diangkat dari batok kepala Jerman. Sejak itu tidak mudah bagi
pejabat kebudayaan Partai mengawasi apakah pada seniman mengikuti petunjuk atau
tidak. Sudah terlalu banyak korban. Kebohongan ini mencapekkan.” Bhisma pada
Amba (hal 239).
Namun pada satu titik Bhisma merasa harus memilih walaupun
sebelumnya ia sempat mengatakan pada Amba
bahwa dirinya telah mengenal batas.
“Dengar, Amba. Seorang dokter
akan selalu berada di satu saat di mana pilihannya bisa menentukan hidup atau
mati. Tiap saat bercabang, tiap saat berubah. Aku bukan seorang yang mampu
berkelahi di jalan atau menembak dari barikade, dan mungkin pada akhirnya aku
tidak berdaya apa-apa dan pada akhirnya kalah. Tetapi jika aku tidak berbuat,
aku tidak akan berarti apa-apa, seperti seorang dokter yang tidak mencoba
menyembuhkan betapapun sulitnya keadaan. Dan jika aku berbuat dan kalah,
setidaknya kekalahan itu tidak kehilangan nilai. Dua tahun lalu aku pulang,
menyadari sepenuhnya bahwa rumahku menyembunyikan air mata; ia sebuah negeri
yang sakit, yang miskin, yang tak bisa berjanji. Sekarang negeri ini di tentukan
algojo-algojo dan aku tidak mau itu terjadi berkali-kali.” (hal 260).
Bumbu novel ini adalah drama kisah
cinta antara Bhisma dan Amba.
Bhisma berpisah dengan Amba saat
terjadi penyerbuan ke Universitas Res Publica Yogyakarta 19 Oktober 1965.
Setelah puluhan tahun berlalu dari perpisahan itu, kabar
kematian Bhisma sampai pada Amba. Dengan tekad kuat Amba ke Buru, ingin melihat
secara langsung kuburan Bhisma di sana. Tak diduga Bhisma meninggalkan dua
puluh pucuk surah untuknya. Surat-surat yang menceritakan pengalaman selama
Bhisma di buru dan perasaannya terhadap Amba.
Melalui surat-surat inilah
membaca bisa mengetahu seperti apa kehidupan tapol di buru.
Secara setting sejarah dan diksi,
ini novel gua banget! Yap, saya suka novel-novel berlatar belakang sejarah tapi
yang bukan terlalu banyak silsilah sejarahnya, seperti novel dengan setting
raja-raja tanah air, agak ribet (nggak heran saya ga pernah bisa menyelesaikan
novel Arus Baliknya PAT hehe).
Bahasa yang digunakan penulis
puitis tapi jangan bayangkan puisi bersajak-sajak ria ya J.
Puitis dalam arti diksi dan susunan kalimatnya enak di baca terutama dalam
surat menyurat. Penokohan karakternya kuat.
Beberapa tempelan sejarah yang
membuat mengerutkan kening karena (saya) tidak tahu seperti siapa Rose
Luxemburg*, apa dan bagaimana festival pemuda sedunia, jadi mau tidak mau harus
sedikit googling tapi ini membuat pengetahuan baru untuk saya. Kisah pewayangan
sedikit diangkat terkait latar belakang nama Amba.
Yang ga gue banget dari novel ini
adalah adegan dewasanya, ya memang sekedar bumbu dan saya bukan termasuk orang
yang mudah menjudge sebuah buku buruk karena ada bumbu semacam itu.
Yang pasti perlu kedewasaan untuk
membaca novel ini.
Recommed banget untuk di baca
pecinta novel sastra Indonesia.
Mengenai Laksmi Pamuntjak, Jurnalis Jakarta Post, puluhan
tulisannya mengenai politik, kuliner, musik dan sastra sudah menghiasi majalah
dan koran-koran nasional. Sebelumnya ia menerbitkan buku The Jakarta Good Food
Guide. Novel terbarunya yang terbit akhir tahun lalu berjudul Arjuna dan
Lidahnya.
3 komentar:
jd sesuai ekspektasi yah?
saya blum pernah baca karya laksmi pamuntjak...
Aku tahu Laksmi Pamuntjak justru dari Aruna & Lidahnya, dan melewatkan ini. Di novel terbarunya itu pun bagus mba. Kemampuan menulisnya keliatan banget kalo udah pro. Dan kalo mba ngga menyesal dengan membaca novel ini, kayaknya untuk novel terbarunya itu mba juga akan suka :)
Oia, salam kenal ;)
sejak terbit mupeng buku itu mba tapi budget belum nyampe nih kebanyakan buku yang diinginkan sementara budget tetap hahaha. salam kenal juga mba
Posting Komentar