Jumat, November 27, 2009

YANG TAK TERDUGA


Judul buku :
Bocah Muslim di Negeri James Bond
Penulis : Imran Ahmad
Penerbit : Mizan Tahun : September, 2009

YANG TAK TERDUGA
Oleh: Rina Susanti

Kalau selama ini sebuah memoar atau biography begitu menarik untuk dibaca dan dijadikan pelajaran hidup karena identik dengan kesuksesan penulisnya yang merupakan sosok orang terkenal atau seseorang yang memiliki kontribusi besar pada sebuah perubahan social, memoar Imran Ahmad ini mungkin sebaliknya. Kalau dicari dalam deretan daftar orang terkenal, sebelum buku ini diterbitkan, sangat mungkin nama Imran Ahmad tidak ada. Dia bukan seorang politikus, ekonom atau seorang negarawan. Seperti sebuah pepatah, kehidupan adalah pelajaran terbaik dan itulah yang dibagikan Imran Ahmad dalam memoar yang ditulisnya ‘Unimagined’, versi Indonesia judulnya menjadi Bocah Muslim di Negeri James Bond.

Mungkin pengambilan judul dalam bahasa Indonesia ini untuk lebih mengidentikan lingkungan tempat Imran Ahmad (sebagai bocah muslim) dibesarkan, Inggris sekaligus obsesi Imran, ingin seperti James Bond, seorang petualang ganteng, jagoan, dan dikelilingi perempuan cantik dan seksi berkulit putih seperti Teresa*. Walaupun begitu menurut saya pemilihan judul buku versi bahasa Indonesia ini kurang mewakili isi buku.

Terlahir sebagai seorang muslim dan dibesarkan dalam lingkungan non muslim dengan kepercayaan, kebudayaan, dan warna kulit berbeda. Perbedaan ini tak pelak membenturkan Imran pada kenyataan yang berbeda dengan persepsi dibenaknya termasuk keyakinannya terhadap islam. Beberapa teman Imran sempat berusaha merubah keyakinan agamanya dengan berbagai argumentasi. Mengapa aku menghabiskan begitu banyak waktu bersama Markus? Dia memperlakukanku dengan penuh kebencian, tapi aku teruws tertarik kepadanya. Karena aku takut mungkin dia benar dan aku terpengaruh dengan keyakinannya. Hal 316. Hal ini membuat Imran mempelajari Islam lebih dalam lagi dan ikut pertemuan kelompok muslim.

Bermula dari keputusan keluarganya untuk bermigrasi ke Inggris. Saat itu pemerintah Inggris mendorong dilakukan migrasi dari Negara-negara persemakmuran (Negara bekas jajahan Inggris) Inggris akibat kurangnya tenaga kerja pascaperang.

Sesampainya di sana mereka dihadapkan pada kenyataan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kebanyakan warga Inggris tidak menyukai para imigran ini, karena menurut mereka para imigran ini hanya menghabiskan dana pemerintah. Kesulitan dimulai saat mereka mencari tempat tinggal. Beberapa penyewa kamar kamar memasang pengumuman’Tidak menerima orang Irlandia atau kulit berwarna’.

Dan ketika akhirnya keluarga Imran memiliki rumah sendiri, kesulitan perihal tempat tinggal belum selesai. Tetangga sebelahnya, Willy Jones seorang yang sangat rasis. Jones selalu berusaha memancing keributan dari menyetel musik keras-keras, melubangi dinding belakang rumah keluarga Imran dan mengalirkan pipa penampungan air hujan ke rumah Imran.

Benturan lain karena perbedaan pandangan yang telah dibentuk kultur keluarganya sebagai seorang muslim Pakistan dan kultur modern dunia barat, diantaranya soal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini juga yang terus membuntutinya sampai Imran masuk perguruaan tinggi dan dewasa. Dengan jujur Imran menuturkan keinginannya seperti pemuda Inggris lainnya, yang bisa bercinta sebelum menikah. Imran tahu dalam kepercayaannya agama yang dianutnya, islam, hal itu adalah dosa. Dengan jujur ia menuturkan akal dan nafsunya mencari pembenaran perihal keinginannya itu (hal 288).Tapi keinginannya itu tidak (belum?) terwujud sampai saya selesai membaca buku ini.

Perilaku rasisme yang diterimanya dituliskan dengan tuturan objektif sehingga tidak ada rasa benci atau dendam. Namun begitu Imran selalu berusaha mengambil sikap positif terhadap setiap perilaku rasisme yang ia terima. Peldman adalah satu teman sekelasnya yang terang-terang membenci Imran. Suatu kali Peldman dengan sengaja dan tanpa sebab memukul kepala Imran dengan kerasnya. Seketika terbersit di benak Imran untuk membalasnya. Dengan memukulkan koper sekolahnya yang berlapis logam dan berisi banyak buku ke kepalanya….aku mengangkat koperku, untuk kuhantamkan di kepalanya.Aku dapat membayangkan rasa dan suara logam yang menghantam tulang.Tapi pada detik terakhir, aku mengurungkan niatku, karena memutusakan bahwa kehidupanku lebih penting daripada kematiannya. Diskriminasi yang diterima Imran tidak membuatnya berkecil hati dan putus asa. Malah sebaliknya, ini merubahnya dari siswa biasa menjadi siswa luar biasa. Membuatnya merasa harus sempurna sebagai seorang Inggris. termasuk obsesinya menikah dengan wanita berkulit putih Janice.

Di perguruan tinggi Imran jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Janice. Dan terobsesi untuk menikahinya. Tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Dan Imran harus menghadapi kenyataan yang sempat membuatnya malu di depan teman-temannya, soal pernikahan yang diatur (dijodohkan) keluarga, sebuah tradisi kebanyakan negara Asia. Dan Imran membiarkan prose situ dimulai dan dengan patuh pergi dengan orang tuanya menghadiri pertemuan-pertemuan perkenalan itu. Karena pernikahan dengan seorang non-muslim yang tidak berdarah Pakistan selalu menyebabkan pergolakan di dalam keluarganya. Dan Imran tidak siap menghadapi itu.

Memoar ini merekam perjalanan Imran Ahmad dari usai 2 sampai 37 tahun. Dengan dilengkapi catatan kaki di setiap halaman yang menuliskan usia dan tahun Imran mengalami kejadian yang ditulisnya, membuat pembaca memahami keterkaitan kejadian atau isu yang terjadi tahun itu. Misal, perang yang terjadi antara Pakistan dan India yang memperebutkan wilayah Kashmir, saat Imran berusia 8 tahun.

Buku setebal 466 halaman ini ditulis dengan gaya bertutur yang sederhana dan hangat. Rekaman pengalaman ditulis Imran dalam bentuk paragraph-paragraph pendek, malah beberapa hanya satu paragraph dan antara paragraph satu dengan paragraph lain bisa berbeda thema. Penulisan ini membuat pembaca tidak mudah jenuh dan bisa menunda membaca dihalaman manapun tanpa merasa tanggung. Bagi saya ini seperti mengumpulkan serakan puzzle tanpa harus menyusunnya. Perjalanan saat Imran berinteraksi dengan televisi, film dan acara favoritnya dan buku-buku yang dibacanya. Interaksi yang memunculkan keingintahuan khas seorang bocah dengan keluguan dan kepolosannya.

Dalam satu hal Imran tidak jujur, sampai buku ini habis saya baca, Imran tidak menyinggung sedikit pun soal siapa perempuan yang akhirnya ia pilih. Apakah Imran sudah menikah saat memoar ini selesai di tulis (37 tahun)? Atau masih belum menentukan pilihan.

Buku yang bagus sebagai pembelajaran bahwa lingkungan (buku, film dan lingkungan pergaulan) membentuk kepribadian dan sikap seorang anak dan pengalaman itu menjadi bekal kearifan untuk perjalanan hidupnya. Dan bagian yang tidak kalah penting adalah impian. If you can dream it, you can do it.

0 komentar:

Posting Komentar