Kamis, Mei 26, 2011

100 Kisah Menghangatkan Hati



Judul buku          : Mari Bicara
Penyusun            : Alberthiene Endah
Penerbit              :Gramedia/2010
Hal                      :xxxiv + 324

100 Kisah Menghangatkan Hati

Buku agak lama yang niat untuk mereviewnya  dari dulu, tapi dengan alasan sok sibuk selalu tertunda. Alasan ingin mereview walaupun terlambat karena buku ini menurut saya wort to read.

Berisi 100 pengalaman para ibu membangun komunikasi dengan suaminya. Seru, lucu, bikin haru sampai yang biasa-biasanya.   Ini membuat saya mengamini sebuah pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah proses komunikasi tanpa henti. Komunikasi untuk memantapkan komitmen, menerapkan kesepakatan entah dalam hal keuangan, pola asuh anak atau karir. Seratus kisah dalam buku ini di bagi dalam enam bab berdasarkan thema masalahnya. Keuangan dan karier, masalah internal dan eksternal, masalah pada awal pernikahan, perbedaan laki-laki dan perempuan, miskomunikasi, dan bahas apenuh bahasa cinta.

Salah satu isu sensitif dalam hubungan hubungan rumah tangga adalah soal uang dan karir. Karena bicara soal ini menyangkut soal harga diri dan power (ulasan penyusun hal 58). Ini tidka hanya berlaku untuk ibu bekerja  pun ibu rumah tangga yang notabene hanya mengelola uang dari suami. Seperti kisah Erna  Yusmiati dari Sidoarjo yang merasa bersalah karena menggunakan dana darurat keluarga untuk kebutuhan sehari-hari yang awalnay tanpa diketahui suaminya. Ibu Erna tidka ingin dinilai tidak amanah atau boros.
Being happy doesn’t mean that everything is perfect. It just means that u are decided to look beyond the imperfections. Yang penting dalam sebuah pernikahan adalah menerima pasangan kita apa adanya. Bukan tidak mungkin beberapa sifat dan kebiasaannya baru kita ketahui setelah menikah. Seperti kisah ‘gara-gara bola’ oleh Desi dari Semarang (hal 146). Lamanya proses pengenalan sebelum menikah tidak menjamin kita benar-benar mengenal suami.
Dan selama sifat atau kebiasaannya itu bukan sesuatu yang fatal rasanya tidak ada alasan untuk tidak  berbesar hati menerima.
Dalam budaya kita, menikah bukan hanya menyatukan dua insan, tapi dua keluarga besar tak heran jika kemudian masalah yang muncul dalam rumah tangga bukan hanya dipicu salah satu pasangan tapi  keluarga besar, entah mertua, orang tua, adik ipar dsb. Bagaimana para ibu menghadapi ini ada di bagian bab dua buku ini, masalah internal dan eksternal.

Beragam cara untuk bisa mengkomunikasi sebuah masalah rumit menjadi clear. Secangkir teh adalah sebuah bumbu yang membuat suasana rileks. Yang tak kalah penting  adalah perlu disadari bahwa laki-laki dan perempuan punya cara pandang berbeda dalam melihat dan menikapi masalah. Lelaki umumnya lebih rasional sedangkan perempuan lebih mengedepankan perasaan, lelaki lebih suka diam dan berpikir sendiri sedangkan perepuan selalu merasa butuh teman curhat. Selain itu perbedaan cara komunikasi di tentukan pula latar belakang keluarga, pendidikan dan lingkungan. Jadi miskomunikasi pasti terjadi kuncinya adalah komunikasi terbuka dan kemampuan berempati. 

Setiap bagian buku ini disisipi bahasan dan tips dari psikolog  perihal masalah yang mungkin timbul dalam hubungan rumah tangga dan bagaimana menjalin komunikasi yang efektif agar semua masalah (konflik) bisa terselesaikan dengan berkomunikasi. Buku ini dibuka dengan kisah empat pasang public figure (Mira Lesmana –Mathias Muchus; Ira Wibowo-Katon Bagaskara;  Dian Nitami-Anjasmara; Meisya Siregar-Baby Romeo) menjalin komunikasi dengan pasangannya dalam menghadapi masalah rumah tangga.

Yang mengganggu dari buku ini adalah penggunaan beberapa kali kata ‘autis’ yang tidak pada tempatnya. Kata autis sebagai pengganti keadaan negatif. Penggunaan kata autis yang kerap kali dikonotasikan hal negatife ini sebenarnya sudah sering mendapat protes. Semoga ini hanya sebuah kekhilapan dari editor yang seharusnya mengganti kata autis yang ditulis kontributor dengan kata yang sepadan. (review by rina susanti)

6 komentar:

Kopi Hitam mengatakan...

makasih mb infonya,mau cari ahhhh (ketinggalan bgt ya saya) :)

Rina Susanti mengatakan...

sama-sama n salam kenal...

Susindra mengatakan...

Meski kelihatannya sepele, namun fatal sekali, ya...
Seharusnya editor berkuasa penuh mengganti kata autis dengan kata lain yang sepadan. Pembaca juga tidak akan peduli, kok, dengan padanan katanya.
Saya juga sering jengkel jika ada yang mengolok2 dengan kata autis dan hiperaktif. Bahkan guru tk pun pernah mengupdate facebook dengan mengatakan murid2nya hiperaktif. Ketika saya jelaskan makna dan ketidaktepatan bahasanya, tetap cuek saja.

Rina Susanti mengatakan...

@susindra: betul mbak...say ajug aheran padahal editor kaliber Alberthiene Endah...

Nur Hikmah mengatakan...

subhanallah review buku yg bagus, tak perlu baca benang merah sudah digambarkan di sini,salam mba. makasih kunjungannya di http://ronaruangalbanna.wordpress.com

Rina Susanti mengatakan...

makasih juga sudah berkunjung....:)

Posting Komentar