Judul Buku : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Januari 2012
Hal : 503
ISBN : 978-979-22-7913-9
Harga : -
Kisah Cinta Seorang Pemuda Berhati Lurus
resensor rina susanti
resensor rina susanti
Mereka yang pernah jatuh cinta
tentu tahu rasanya berharap-harap cemas, gemetar dan malu menyatakan
perasaannya. Kecemasan yang sebenarnya dibesar-besarkan perasaan takut
kehilangan, takut tak bertemu dan takut ditolak.
Dalam masalah ini, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah
imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. (hal 133).
Perasaan itu
pula yang dialami Borno sejak dia bertemu Mei, seorang gadis berparas Cina
peranakan yang tak lain adalah penumpang sepit*nya. Penumpang yang menjatuhkan angpau merah di sepitnya.
Berbagai cara dilakukan Borno
agar sang gadis yang sampai di dermaga setiap pukul 07.15 menaiki sepitnya. Setelah berhari-hari
akhirnya upaya itu berhasil. Bersamaan dengan itu Borno di dera perasaan yang
tidak ia mengerti.
“...aku tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba
terobsesi padanya. Karena aku tidak berani langsung menatapnya, aku ingin
berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak berani menegur, apa lagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar
berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang memenuhi
kepala...” (hal 97)
Ya, bahkan Borno
tak memiliki keberanian untuk menanyakan namanya sampai Pak Tua menasehati.
Namun malang, cara perkenalan itu tidak semulus skenario yang sudah Borno rancang, basa-basi yang dilontarkan
Borno malah membuat si gadis tersinggung. Borno cemas sang gadis marah dan
tidak mau menaiki sepitnya lagi. Namun
tanpa di duga sang gadis yang kemudian mengaku bernama Mei, mengirimkan sebaris pesan,
meminta Borno mengajarinya mengemudikan sepit.
Sayangnya pada hari yang
disepakati Borno terlambat datang karena ia harus mengantar dan menunggui Pak
Tua di rumah sakit. Borno kebingungan dan cemas, karena sebelumnya Mei
mengatakan bahwa kemarin adalah hari terakhir dirinya mengajar di Yayasan, masa
magangnya sudah berakhir. Kali ini dengan menggunakan instingnya – bukan atas
saran Pak Tua – Borno mendatangi yayasan dan meminta alamat Mei. Karena iba dan
melihat kesungguhan Borno, akhirnya
kepala sekolah memberikannya.
Borno, bujang berhati paling
lurus di tepi sungai kapuas, karena keluguan dan kepolosannya lah kisah cinta
sepasang muda-mudi ini jadi menarik. Seperti
cara paling masuk akal sekaligus kocak saat Borno mencari tahu alamat Mei di
Surabaya dengan menelpon semua nomor bernama Sulaiman dan Soelaiman, dan bisa
diduga, ada kebetulan yang membuat akhirnya mereka bertemu di Surabaya. namun sayang, Ayah Mei meminta Borno untuk menjauhi Mei.
Sebenarnya Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit,
seperti yang pernah di nasehatkan bapaknya, “....jangan pernah jadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu punya sepuluh
perahu, kaya raya, tapi lihatlah, dia meninggal dengan mewariskan utang. Jangan
pernah jadi pengemudi sepit.” (hal 53) Namun pilihan kesempatan justru
menjadi pengemudi sepit, setelah berbagai macam pekerjaan di lakoni.
Ayah Borno seorang nelayan, tewas
tersengat ubur-ubur, namun sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia medonorkan
jantungnya. Hal yang memicu kemarahan Borno, karena menurutnya ayahnya masih
bisa hidup jika tidak berbaik hati mendonorkan jantungnya. Usia Borno saat itu
12 tahun.
Berawal dari ketertarikan Borno
pada bagaimana mesin sepit bekerja, ia mulai belajar mengenai mesin secara autodidak, dari
buku-buku yang dipinjamkan Pak Tua dan buku yang dihadiahkan Mei untuknya. Sampai
suatu hari Bapaknya Andi,sahabatnya, melihat bahwa Borno memiliki bakat menjadi montir, Borno cepat paham masalah permesinan, dan mengajaknya berkonsinyasi dengan membeli bengkel di sebuah jalan protokol.
Sayangnya transaksi tidak
berjalan mulus, padahal Bapaknya Andi sudah menjual rumahnya dan Borno menjual
sepitnya, mereka ditipu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah cinta Borno dan Mei? Dan akankah Borno memiliki bengkel sendiri? Kalau saya ulas di sini spoiler donk hehe
Jujur saja, setelah membaca buku
ini sampai halaman terakhir saya mengernyitkan dahi, dan berguman sambil
nyengir,’buku setebal ini hanya mengisahkan orang jatuh cinta? Gundah gulananya
orang yang dimabuk cinta.’ Tapi tak perlu khawatir bosan memba.canya, karena
Tere Liye, mengemas layaknya perasaan orang jatuh cinta, manis, kocak, herois dan haru. Dan pelajaran hidup mengenai makna cinta dan hidup yang di dapat Borno. Borno belajar bersikap bijak dari Pak Tua dan memiliki kebaikan seperti bapaknya.
Penulis tak luput menyertakan dialek khas masyarakat tepian sungai Kapuas Kalimantan.
Sedikit kritik, tokoh-tokoh utama dalam buku ini, terlalu lurus dan baik. Termasuk Borno yang menurut saya terlalu polos dan lugu untuk ukuran jaman saat itu. Di dalam buku tidak disebutkan secara detail waktu, tapi dari tidak adanya penggunaan handphone, malah telpon umum koin, diperkirakan era 90 –an.
Penulis tak luput menyertakan dialek khas masyarakat tepian sungai Kapuas Kalimantan.
Sedikit kritik, tokoh-tokoh utama dalam buku ini, terlalu lurus dan baik. Termasuk Borno yang menurut saya terlalu polos dan lugu untuk ukuran jaman saat itu. Di dalam buku tidak disebutkan secara detail waktu, tapi dari tidak adanya penggunaan handphone, malah telpon umum koin, diperkirakan era 90 –an.
Lepas dari itu, buku ini inspiratif dan
bahwa cinta bisa melumerkan perbedaan status sosial dengan cara yang manis.
0 komentar:
Posting Komentar