Jumat, Maret 07, 2014

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Judul Buku          : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis                 : Tere Liye
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Tahun                   : Januari  2012
Hal                          : 503
ISBN                      : 978-979-22-7913-9
Harga                    : -







Kisah Cinta Seorang Pemuda Berhati Lurus

resensor rina susanti

Mereka yang pernah jatuh cinta tentu tahu rasanya berharap-harap cemas, gemetar dan malu menyatakan perasaannya. Kecemasan yang sebenarnya dibesar-besarkan perasaan takut kehilangan, takut tak bertemu dan takut ditolak.

Dalam masalah ini, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. (hal 133).
Perasaan itu pula yang dialami Borno sejak dia bertemu Mei, seorang gadis berparas Cina peranakan yang tak lain adalah penumpang sepit*nya. Penumpang yang menjatuhkan angpau merah di sepitnya.

Berbagai cara dilakukan Borno agar sang gadis yang sampai di dermaga setiap pukul 07.15  menaiki sepitnya. Setelah berhari-hari akhirnya upaya itu berhasil. Bersamaan dengan itu Borno di dera perasaan yang tidak ia mengerti.
“...aku tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba terobsesi padanya. Karena aku tidak berani langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak berani menegur, apa  lagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang memenuhi kepala...” (hal 97)
Ya, bahkan Borno tak memiliki keberanian untuk menanyakan namanya sampai Pak Tua menasehati. Namun malang, cara perkenalan itu tidak semulus skenario yang sudah  Borno rancang, basa-basi yang dilontarkan Borno malah membuat si gadis tersinggung. Borno cemas sang gadis marah dan tidak mau menaiki sepitnya lagi.  Namun tanpa di duga sang gadis yang kemudian mengaku  bernama Mei, mengirimkan sebaris pesan, meminta Borno mengajarinya mengemudikan sepit.

Sayangnya pada hari yang disepakati Borno terlambat datang karena ia harus mengantar dan menunggui Pak Tua di rumah sakit. Borno kebingungan dan cemas, karena sebelumnya Mei mengatakan bahwa kemarin adalah hari terakhir dirinya mengajar di Yayasan, masa magangnya sudah berakhir. Kali ini dengan menggunakan instingnya – bukan atas saran Pak Tua – Borno mendatangi yayasan dan meminta alamat Mei. Karena iba dan melihat kesungguhan Borno,  akhirnya kepala sekolah memberikannya.

Borno, bujang berhati paling lurus di tepi sungai kapuas, karena keluguan dan kepolosannya lah kisah cinta sepasang muda-mudi ini jadi menarik.  Seperti cara paling masuk akal sekaligus kocak saat Borno mencari tahu alamat Mei di Surabaya dengan menelpon semua nomor bernama Sulaiman dan Soelaiman, dan bisa diduga, ada kebetulan yang membuat akhirnya mereka bertemu di Surabaya. namun sayang, Ayah Mei meminta Borno untuk menjauhi Mei.

Sebenarnya  Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit, seperti yang pernah di nasehatkan bapaknya, “....jangan pernah jadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu punya sepuluh perahu, kaya raya, tapi lihatlah, dia meninggal dengan mewariskan utang. Jangan pernah jadi pengemudi sepit.” (hal 53) Namun pilihan kesempatan justru menjadi pengemudi sepit, setelah berbagai macam pekerjaan di lakoni.
Ayah Borno seorang nelayan, tewas tersengat ubur-ubur, namun sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia medonorkan jantungnya. Hal yang memicu kemarahan Borno, karena menurutnya ayahnya masih bisa hidup jika tidak berbaik hati mendonorkan jantungnya. Usia Borno saat itu 12 tahun.

Berawal dari ketertarikan Borno pada bagaimana mesin sepit bekerja, ia mulai  belajar mengenai mesin secara autodidak, dari buku-buku yang dipinjamkan Pak Tua dan buku yang dihadiahkan Mei untuknya. Sampai suatu hari Bapaknya Andi,sahabatnya, melihat bahwa Borno memiliki bakat menjadi montir, Borno cepat paham masalah permesinan,  dan mengajaknya berkonsinyasi dengan membeli  bengkel di sebuah jalan protokol.  

Sayangnya transaksi tidak berjalan mulus, padahal Bapaknya Andi sudah menjual rumahnya dan Borno menjual sepitnya, mereka ditipu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah cinta Borno dan Mei? Dan akankah Borno memiliki bengkel sendiri? Kalau saya ulas di sini spoiler donk hehe

Jujur saja, setelah membaca buku ini sampai halaman terakhir saya mengernyitkan dahi, dan berguman sambil nyengir,’buku setebal ini hanya mengisahkan orang jatuh cinta? Gundah gulananya orang yang dimabuk cinta.’ Tapi tak perlu khawatir bosan memba.canya, karena Tere Liye, mengemas layaknya perasaan orang jatuh cinta,  manis, kocak, herois dan haru. Dan pelajaran  hidup mengenai makna cinta dan hidup yang di dapat Borno. Borno belajar bersikap bijak dari Pak Tua dan memiliki kebaikan seperti bapaknya.
Penulis tak luput menyertakan dialek khas masyarakat tepian sungai Kapuas Kalimantan.

Sedikit kritik, tokoh-tokoh utama dalam buku ini, terlalu lurus dan baik. Termasuk Borno yang menurut saya terlalu polos dan lugu untuk ukuran jaman saat itu.  Di dalam buku tidak disebutkan secara detail waktu, tapi dari tidak adanya penggunaan handphone, malah telpon umum koin, diperkirakan era 90 –an.

Lepas dari itu, buku ini inspiratif dan bahwa cinta bisa melumerkan perbedaan status sosial dengan cara yang manis.





0 komentar:

Posting Komentar