Judul Buku : Memoir of a So Called Mom
Penulis : Poppy D. Chusfani
Penerbit : Gramedia
Tahun : 2014
Hal : 148
ISBN : 978-602-03-0314-7
Memoir Seorang Ibu
Kalau di pikir-pikir, ada kalanya
menjadi ibu itu dorongan lingkungan. Sebelum terbersit jadi ibu di benak
seorang perempuan, keluarga, kerabat dan teman yang ada akan mendorongnya
dengan pertanyaan,”Kapan nikah?” atau,”Udah punya calon belum?” Yap, budaya
Indonesia yang kekeluargaan, sering ‘menjerumuskan’ kata kekeluargaan menjadi
merasa dan harus tahu urusan keluarga dan kerabat.
Itu juga yang dialami Amelia, dan
sangat mungkin sebagian besar perempuan mengalami hal yang sama. Amelia menjelang
usia pertengahan dua puluh dan baru lulus kuliah, saat diberondong dengan pertanyaan kapan menikah,
dari keluarga, kerabat dan teman. Pertanyaan lumrah tapi tak urung membuat
banyak perempuan kecut karena terlalu sering dilontarkan dan berkesan itulah
capaian seharusnya seorang perempuan.
Aku sudah kehabisan cara untuk mengelak. Kenyataan bahwa aku dan Baron
belum bekerja dan belum memiliki uang untuk mulai berumah tangga tidak membuat
mereka gentar.(hal 13)
Setelah menikah pertanyaan
beruntun selanjutnya adalah kapan punya anak? Dan biasanya di susul dengan
berbagai asumsi dari si penanya jika kehamilan yang di nanti tak kunjung tiba.
Dikaitkan dengan kebiasaan dan mitos yang tak masuk akal. Pada posisi ini
biasanya perempuanlah yang merasa dihakimi. Tak berlebihan rasanya jika Amelia menulis;
menjadi hamil adalah perjuangan menjaga
kehamilan adalah pertempuran (hal 16).
Yap, pertempuran menghadapi morning sick, sederet keluhan lain yang
biasa di alami perempuan hamil dan beragam mitos yang tak masuk akal tapi
dipaksakan untuk dilakukan. Seperti perihal meminum air kelapa muda yang di
katanya bisa membuat bayi berkulit putih dan tidak boleh berhubungan intim dengan
suami selama kehamilan. Mitos yang sudah umum ada di masyarakat. Tapi itu belum
seberapa di banding saat mendengar komentar bahwa apa yang dialami Amelia hanya
sebentuk sikap manja ketika memutuskan berhenti bekerja atas rekomendasi dokter agar tidak keguguran.
Amelia memutuskan penjadi pekerja lepas.
Tapi ‘perseteruan’ sesungguhnya
menjadi ibu dimulai saat buah hati yang dinamainya Anika lahir. Ibu baru di
hadapkan pada berbagai saran dan pilihan yang akan selalu menuai komentar
positif dan negatif. Dari mulai ASI
sampai status seorang ibu; bekerja atau tidak bekerja.
Amelia sering di buat jengkel
dengan komentar bahwa sebagai ibu rumah tangga, posisinya santai dan enak. Pada
saat bersamaan dia juga mendengar komentar negatif mengenai ibu bekerja yang
dinilai tega memberikan anaknya pada baby
sitter. Dari kakak perempuannya yang seorang wanita karir Amelia melihat
bahwa tidak semua ibu bekerja angkat tangan soal urusan rumah dengan alasan
tidak sempat. Kakak perempuannya selalu memasak sebelum berangkat bekerja dan
bisa tiba-tiba menjemput anaknya untuk membuat kejutan. Amelia justru iri
karena ibu bekerja bisa memiliki jadwal yang teratur untuk melakukan banyak
hal. Tidak tergantung rengekan atau kerewelan anak. Tapi dari situ Amelia
menyadari satu hal, kesamaan menjadi seorang ibu adalah ikhlas berkorban. Jika seorang perempuan memilih untuk menikah
dan memiliki anak, dia harus mengorbankan kepentingannya sendiri sampai ke
level paling tinggi. Waktu mereka untuk diri pribadi sangat sedikit (hal 70).
Saat Anika memasuki usia sekolah,
pilihan sekolah tak urung jadi komentar di antara keluarga besar. Secara tidak
langsung sepertinya setiap kerabat ingin menunjukkan pilihannya yang paling
benar dan baik untuk anaknya. Termasuk dalam hal merencanakan kesuksesan
anaknya kelak. Pada saat bersamaan roda
kehidupan ekonomi keluarga Amelia berputar dan tibalah masa-masa sulit yaitu
saat perusahaan tempat Baron, suaminya bekerja bangkrut. Keadaan ini memperburuk kondisi perekonomian keluarganya
yang pas-pasan malah dinilai miskin oleh keluarga besarnya.
Walaupun Amelia tidak menyesali
jalan hidupnya namun ia sempat berandai-andai. Andai ia mengejar karir sebelum
menikah seperti beberapa temannya, andai
tidak berhenti kerja dan andai Baron memiliki karir cemerlang.
Kesulitan ekonomi, nasehat dan
komentar ini itu yang kadang tidak sejalan dengan standar dan idealismenya dalam membesarkan anak di tengah
‘persaingan’ keluarga besar, membuat Amelia belajar banyak hal termasuk arti
sebuah rasa syukur.
Buku yang isinya merupakan kisah
inspiratif suka dukanya ibu muda perkotaan cukup banyak tapi sangat sedikit yang di kemas dalam
bentuk novel. Salah satunya novel
ini, yang bercerita mengenai seorang ibu bernama Amelia dan ditulis dalam
bentuk memoir.
Walaupun novel ini ditulis dalam
bentuk memoir namun ditulis gaya bahasa
yang santai dan blak-blakan, khas novel metropolitan. Tapi ada beberapa kalimat
yang menurut saya ungkapan atau metapora yang digunakan terlalu kasar. Seperti dalam
kalimat di halaman 46. Dengan jengkel akhirnya aku menjawab, “Tidak juga. Kalau mau tahu seperti apa
sakitnya, sini aku korek bola matamu pakai garpu.”
Secara konten buku ini layak
di baca para perempuan dan ibu. Namun dari segi penggunaan bahasa, yang tidak pernah membaca fiksi dengan metapor kasar akan merasa tak nyaman. Penulis, lewat tokohnya Amelia, akan membuat para
ibu makin menyadari bahwa menjadi ibu adalah
proses belajar dan berjuang seumur hidup.
7 komentar:
Aku udah lama pengin nulis novel dengan tema begini, eh udah keduluan ya mak hehe... makasih referensinya, mak :-)
Jujur, aku nggak suka dengan pilihan katanya. Kasar. Nggak cocok untuk bacaan ibu2.
Jujur, aku nggak suka dengan pilihan katanya. Kasar. Nggak cocok untuk bacaan ibu2.
Kemarin liat buku ini di paper clip sekilas.. jadi penasaran pengen baca. Thanks reviewnya ya mba :)
kalau ada ide harus segera di tuangkan kalau gak ya keduluan ;)
udah sy kritik soal itu dan saya edit di paragraf akhir...soal bahasa yang bikin tak nyaman.
sama -sama mak oline ;)
Posting Komentar