Kamis, Oktober 15, 2009

Review dan diskusi buku The Forgotten Massacre

By : Rina S dan Hendi Johari
forgotten massacreJudul Buku : The Forgotten Massacre
Penulis : Peer Holm Jorgensen
Penerjemah : Ingrid Nimpoeno
Penerbit : Qonita (grup Mizan) Juni 2009
Halaman : 442

Akhir pekan kemarin saya mendapat kesempatan hadir di diskusi buku The Forgotten Massacre di Gramedia Gran Mall Indonesia. Sebuah novel fiksi yang ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya. Seorang pelaut berkebangsaan Denmark, Peer Holm Jorgensen. Selain penulisnya sendiri yang hadir pada diskusi itu hadir juga seorang sejarawan LIPI, Bapak Asvi Warman Adam.

Diskusi ini memang bukan sekedar mendiskusikan isi buku tapi kaitan sejarahnya. Ini membuktikan bahwa sastra tidak bisa tidak untuk terlibat dalam persoalan politik.

Pasca keruntuhan orde baru, pembicaraan mengenai tragedi 30 September 1965 bukan hal yang tabu atau masuk dalam katagori subversif. Bahkan beberapa buku dan hasil penelitian mengenai berbagai teori konspirasi dan kudeta ini telah diterbitkan. Ada yang berpendapat CIA lah yang bertanggung jawab terhadap tragedi ini. Ada juga yang menduga ini merupakan kudeta yang dirancang mantan presiden Soeharto. Atau dugaan yang menyebut skenario ini dibuat oleh Inggris dan Amerika yang bertujuan untuk menggulingkan Soekarno.Dengan begitu kemunculan novel karya Peer Holm Jorgensen ini tidak terlalu membuat ’greget’.

Mungkin akan sangat berbeda jika saja kemunculan novel ini saat orde baru masih berkuasa. Dan yang membedakan novel ini dengan novel-novel serupa (dengan latar pasca tragedi 30
September 1965) tak lain karena penulisnya seorang berkebangsaan asing (Denmark) yang memungkinkannya memberikan sudut pandang yang berbeda dan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi.

Review Buku

Tokoh utama dalam novel ini seorang bernama Kasper, seorang asisten koki di sebuah kapal kargo. Sedari kecil Kasper bermimpi untuk bisa berlayar melintasi benua-benua. Dibenaknya ada Jens Bjerre dan Jorgen Bitsch, para penjelajah yang menceritakan ekspedisi-ekspedisinya. Mimpinya terwujud saat ia berusia 16 tahun.

September 1965. Kasper tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia, dengan kapal Clementine. Bersamaan dengan itu perusahaan perkapalan memindahkan Kasper ke kapal lain. Kapal itu bernama Jessie. Selama menunggu kedatangan kapal barunya, Kasper menghabiskan waktunya di daratan dan pergi ke bar yang tak jauh dari situ, London Bar. Salah satu pramusajinya, Nadia, seorang gadis keturunan Belanda, menarik perhatiannya.

Kasper kembali bertemu dengan Jimmy, kenalan yang ditemuinya pertama kali saat kunjungan pertamanya ke Tanjung Priok September 1963. Kedekatannya dengan Nadia mulai terjalin setelah Kasper menolongnya dari kejahilan para pelaut Jerman. Sebagai imbalannya, Nadia merawat Kasper yang mengalami babak belur akibat pengeroyokan. Saat itulah Nadia mulai menceritakan siapa sebenarnya dirinya. Ayahnya seorang berkebangsaan Belanda yang dengan alasan studi kembali ke Belanda meninggalkan dirinya, yang saat itu berumur 2 tahun, beserta ibu dan neneknya. Saat berusia 14 tahun, ibunya meninggal karena kanker. Setelah itu ia tinggal bersama kerabatnya sebelum akhirnya bekerja sebagai pelayan Bar untuk menghidupi dirinya sendiri.

Perempuan yang kemudian diam-diam dia sukai itu ternyata sudah memiliki seorang pacar. Seorang pelaut berkebangsaan Jerman.


Inti novel ini selain bercerita tentang persahabatan antara Kasper dan Jimmy juga cintanya terhadap Nadia. Kita akan mengikuti pandangan Kasper mengenai kolonialisme dan pandangan orang kulit putih terhadap kulit berwarna. Ia menemukan kenyataan;
ada banyak tempat yang sangat makmur, dan pada saat yang sama ada banyak tempat yang sangat miskin hanya karena beberapa negara ingin merampok kekayaan negara lain dan memperoleh kekuasaan atas rakyatnya (hal 19).Seperti perumpamaan tentang Indonesia. Dalam pandangan Kasper Indonesia layaknya perempuan yang sudah tamat, dipakai lalu dibuang seperti pelacur tua di Shanghai. Pandangan yang tidak berlebihan mengingat eksploitasi yang dilakukan berabad-abad oleh Portugis, Belanda dan Inggris secara bergantian.

Melalui deskripsi persinggungan keseharian Kasper selama di Tanjung Priok dengan petugas pelabuhan, penyewa sepeda dan anak-anak yang mengemis-ngemis untuk meminta uang, membawakan payung atau mengipasi, pembaca dibawa membayangkan seperti apa Indonesia tahun 1965. Penulis mengisahkannya dengan tuturan objektif. Sekedar bagian dari sebuah cerita. Begitu pun saat Kasper menceritakan tentang pemeriksaan petugas dan atau tentara yang mencari barang berharga yang disembunyikannya. Mulanya Kasper mengira bahwa petugas memeriksa dengan melucuti semua baju dan disuruh (maaf) menungging adalah sekedar isu.


Novel setebal 442 halaman ini lebih banyak menceritakan pandangan Kasper tentang gejolak politik dunia yang terjadi saat itu. Komunis versus demokrasi liberal. Amerika versus Uni Sovyet. Dan posisi negaranya, Denmark, dalam percaturan politik pasca perang dunia itu. Dan simpul dari pandangannya itu akan terkait dengan masa kecilnya. Simpulan dan pencarian kebenaran sejarah yang selama ini ia alami dan dapatkan dari pelajaran sekolah. Membaca bagian ini agak melelahkan dengan sedikit diburu rasa penasaran, mencari puncak konflik cerita. Penulis terlalu panjang memberikan narasi ihwal pikiran dan pandangannya sendiri. Yang sedikit sekali hubungannya dengan inti cerita dari novel ini. Yang bisa dikatakan puncak konflik, menurut saya, sekaligus yang menarik benang merah dengan judul novel ini adalah saat Jimmy dibunuh begitu juga adik perempuannya, Sophia, sekaligus mengakhiri cerita novel ini.


Jimmy dan Sophia dibunuh di sungai gerong saat hendak menyebrang ke Palembang. Keduanya dituduh terlibat partai komunis hanya karena ikut gerakan pemuda komunis, sekedar untuk bisa berdansa setiap akhir pekan. Jimmy dan sophia di bunuh saat hendak sungai saat hendak Sedangkan kisah cinta Kasper sendiri terhadap Nadia berubah menjadi persahabatan walaupun Nadia dicampakkan pacarnya yang berkebangsaan Jerman.


Dalam novel ini bisa dikatakan, penulis (Peer Holm Jorgensen) secara tidak langsung berpendapat bahwa CIA lah dalang di balik tragedi ini. Dengan menempatkan beberapa bab berisi uraian dan percakapan anggota-anggota CIA, dengan tokoh utama Ed Rossen. Dalam bab – bab ini juga penulis menceritakan bagaimana skenario kudeta itu tercipta. CIA terlibat karena Indonesia dianggap berbahaya. Ideologi komunis yang diamini Soekarno memungkinkan komunis menyebar ke seluruh Asia Tenggara dan ide anti neokolin secara nyata akan menggangu roda perekonomian Amerika.


Perusahaan-perusahaan besar Amerika yang telah menanamkan modalnya di Indonesia – salah satunya perminyakan – dipaksa angkat kaki. Namun dicatatan ’latar belakang penulisan’ penulis tidak memberi penjelasan lebih tentang hal ini. Apa tokoh Ed Rossen sekedar khayalan? Apa konspirasi buatan CIA itu berdasarkan bukti?


Sebuah novel tetap novel yang tidak lepas dari imajinasi penulisnya. Sejauh mana kesamaan novel ini dengan bukti sejarah?


Berikut adalah hasil obrolan nyantai teman saya
Hendi Johari dengan sejarawan LIPI: Asvi Warman Adam, sesaat setelah diskusi buku selesai.

Bung Asvi, 11 tahun sudah Orde Baru tumbang, namun pemerintah yang berkuasa hari ini masih saja melanjutkan tradisi memperingati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Komentar anda?

Ya pertama soal ini memang sangat kontroversial karena menurut saya 1 Oktober itu tidak ada hubungannya dengan kesaktian Pancasila. Bahwa itu dilakukan untuk mengenang 6 jenderal yang tewas,itu betul. Kedua, Presiden, Wakil Presiden atau para pejabat tinggi negara tidak wajib untuk datang ke Lubang Buaya karena mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Utama Pertahanan dan Keamanan,Soeharto pada 29 September 1966 peringatan itu hanya diwajibkan khusus untuk seluruh kesatuan Angkatan Bersenjata tidak untuk di luar tentara.
Saat ini bagaimana seharusnya sikap pemerintah terhadap kejadian 39 tahun lalu tersebut?
Saya pikir pemerintah harus lebih adil dan berimbang. Bahwa kita harus mengutuk terbunuhnya 6 jenderal,saya setuju saja. Tapi terbunuhnya 500.000 rakyat Indonesia lainnya sesudah itu, saya pikir itu juga bukan suatu peristiwa yang lantas dilupakan begitu saja.
Ok kita masuk ke soal pembantaian itu.Sebenarnya jumlah yang riil itu berapa sih,Bung?
Banyak versi soal ini. Sarwo Edhie (Komandan RPKAD) menyebut angka 3 juta.Yang terkecil menyebut angka 78.000. Lalu Ben Anderson 500.000.Saya sendiri cenderung menilai angka 500.000 lebih realistis.
Dalam novelnya Peer menyebut-nyebut CIA sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas penjagalan tersebut…
Secara keseluruhan CIA bukan pemain tunggal dalam peristiwa itu. Ada negara lain juga seperti Inggris dan Australia. Tapi untuk soal pembantaian orang-orang PKI itu memang dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat disebutkan bahwa mereka mengakui memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada pihak Angkatan Darat. Walapun jumlahnya hanya ribuan tidak sampai ratusan ribu. Lantas mengapa jadi 500.000? Karena dalam kenyataannya di lapangan banyak improvisasi, yang bukan PKI saja bisa dibantai.
Daerah mana saja yang saat itu menjadi ladang pembantaian?
Tentu saja Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali. Itu yang terbanyak. Sisanya terjadi di Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Soal itu semua disebutkan dalam dokumen CIA?
Tidak. Enggak langsung CIA yang menyebutkan. Jadi begini,arsip-arsip itu merupakan hasil laporan para staff Kedubes AS di Jakarta pada 1965. Waktu itu Dubesnya Marshall Green. Saat era dia, jumlah staff kedutaan dikurangi hanya 40 dan itu hampir sepertiganya agen CIA.
Mungkin ada agen CIA yang berkulit coklat?
Mungkin saja itu
Beberapa waktu yang lalu bahkan disebut-sebut Adam Malik adalah salahsatunya?
Saya sudah bantah itu.Itu tidak benar karena hanya dikatakan oleh seorang Clyde McAvoy (mantan agen CIA di Jakarta).Hanya dia yang mengatakan itu.Terlebih sekarang dia pun sudah meninggal pula. Jadi dalam ilmu sejarah, pernyataan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dinilai hanya keterangan sepihak. Terlebih data tertulisnya pun tidak ada.
Lalu link yang menghubungkan antara CIA dengan AD apakah sudah terketahui?
Oh sudah.Kalau itu sudah.Salah satunya ya lewat Adam Malik itu. Amerika kan pernah ngasih duit 50 juta rupiah ke Angkatan Darat via sekretarisnya Adam Malik yang bernama Adiyatman.Tentu saja sepengetahuan Adam Malik.
Itu tidak cukup menjadi bukti bahwa Adam Malik sebagai agen CIA?
Ya tidak dong. Tapi bahwa dia menjadi penghubung CIA-AD:iya.
Mengapa CIA memilih Adam Malik?
Ya pertama secara ideologis Adam Malik yang Murba itu musuhnya PKI. Kedua, secara pribadi Adam Malik memiliki hubungan dekat dengan petinggi-petinggi Angkatan Darat.
Konon bantuan CIA pun sampai meliputi jaket-jaket yang dipakai anak-anak UI?
Ya itu kata Manai Sophian.Tapi saya pikir kalau dalam bentuk barang misalnya jaket enggalah. Kalau uangnya yang dibelikan jaket itu mungkin saja. Saat itu, Amerika selalu berusaha mendukung gerakan yang tujuannya menjatuhkan Soekarno.
Di arsip luar negeri Amerika Serikat pada 1965 disebut-sebut mereka memberi juga bantuan alat-alat komunikasi…
Ya itu memang betul.Jadi ada disebutkan bantuan alat-alat komunikasi kepada Indonesia sejumlah $ 2.000.000. Tapi pas menyebut detail alat komunikasi itu,tulisannya kok dihitamkan.Ini kan aneh,kalau alat komunikasi beneran kenapa harus dihitamkan? Wajar kalau lalu nalar saya bilang itu pastinya senjata karena enggak mungkinlah alat-alat komunikasi harganya sampai segitu.
Dalam peristiwa G30S, posisi PKI sendiri menurut anda bagaimana sebenarnya?
Dalam pidatonya di depan Sidang MPRS pada 1967, Bung Karno pernah mengatakan peristiwa G30S merupakan pertemuan 3 sebab: keblingernya pimpinan PKI dengan Biro Chususnya, subversi nekolim:Inggris,Australia dan Amerika Serikat serta adanya oknum yang tidak bertanggungjawab.Siapa? Bisa Soeharto, bisa Untung, bisa Latief. (hendijo)
Sejarah tak pernah mengenal kata akhir. Demikian kata Dominick LaCapra. Seolah mengamini kata-kata sejarawan Amerika itu, Peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober 1965 pun tak pernah berhenti dibicarakan dan dibahas. Dan memang hingga kini tak ada kepastian sejarah siapa di balik kejadian berdarah 39 tahun lalu:orang terus mengira-ngira dan menganalisanya dengan berbagai teori dari waktu ke waktu.
Dalam pidatonya di depan Sidang MPRS pada 1967, Bung Karno pernah mengatakan peristiwa G30S merupakan pertemuan 3 sebab: keblingernya pimpinan PKI dengan Biro Chususnya, subversi nekolim:Inggris, Australia dan Amerika Serikat serta adanya oknum yang tidak bertanggungjawab.Siapa? Bisa Soeharto, bisa Untung, bisa Latief. (hendijo)
bedah buku
Juga di muat di :
http://baltyra.com/2009/10/13/the-forgotten-massacre/