Jumat, Maret 21, 2014

Little Stories

Resensi ini sebelumnya tayang di sini 




Judul Buku          : Little Stories (sebuah antologi)
Penulis                 : Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody dan Rieke 
                               Saraswati
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Tahun                   : Februari  2014
Hal                          : 255
ISBN                      : 978-602-03-0190-7
Harga                    : rp.55.000,-

Cerita Kecil
resensor rina susanti

Salah satu dari lima penulis ini, Rinrin Indrianie atau biasa di sapa dengan nama Orin, bukan nama yang asing untuk para blogger penyuka atau penulis Flash Fiction (FF).  Dari beberapa Flash Fiction-ers yang saya baca, FF Orin sudah memiliki kekhasan tertentu, pandai membuat kejutan dan menendang dengan thema yang menggigit plus diksinya apik.  Bisa dibilang itu salah satu alasan saya memburu buku ini begitu terbit selain sosok yang ada dibelakang layar buku ini yaitu Maggie Tiojakin, penulis yang karyanya menurut saya sudah sejajar dengan penulis-penulis senior tanah air. Tapi kalau soal ini kembali pada soal selera ya.  Saya menyukainya karena fiksinya bukan sekedar fiksi hiburan.

Kembali ke soal bukunya neng Orin. Berikut review saya

Tidak seperti kumpulan cerpen pada umumnya yang ditulis oleh lebih dari dua penulis, cerita satu sama lain biasanya diikat dalam satu tema. Kumpulan cerpen berjudul  Little Stories ini terdiri dari 20 cerita dengan beragam tema dan walaupun tema cinta mendominasi,  cerita  cinta yang diangkat tidak hanya hubungan antara lelaki dan perempuan dewasa.

Salah satu kisah cinta yang menyentuh ada dalam cerita yang berjudul Berdua Saja. Kisah kasih dan sayang antara seorang anak dan ayahnya. Di mana seorang anak menolak secara halus keinginan ayahnya untuk menikah lagi.
“Aku lebih suka berdua saja,” kata Niko pelan.
Ahok tertegun. Mata sipitnya menelusuri wajah mungil yang menengah di depannya. Di gesernya naik gagang kacamata wajah Niko sembari menghela nafas (hal 223).
Ikatan cinta seorang anak dan bapaknya bisa juga di temui dalam cerpen  Semangkuk Baso Tahu mengenai, kisah  seorang anak yang ingin membahagiakan bapaknya dengan semangkuk baso tahu. Cerpen yang ditulis Orin.
“Nanti Ujang lihat dulu ya, Pak. Kalau jualan, Ujang beliin Bapak Bakso tahu.” Bapak tertawa hingga batuk berikutnya menghentikan kekehan itu.
“Nuhun nya, Jang. Mudah-mudahan weh si Mang Iyan jualan hari ini mah.”
“Iya, Pak.” Aku berdoa tulus, tetapi untuk alasan lain. Karena sebetulnya Mang Iyan tak penah tidak jualan. Karena sebetulnya bermangkuk-mangkuk bakso tahu selalu tersedia di warungnya. Karena sebetulnya aku yang memilih berbohong pada Bapak... (hal 65)

Cerita berjudul Brongkos Mertua adalah kisah yang mungkin banyak dialami pasangan muda perkotaan, cinta yang dibumbui  dengan ‘perseteruan’ antara menantu dan mertua. Gelar tidak bisa dipisahkan dari bronkos maka kunjungan  setiap dua minggu ke rumah Ibunya untuk menyantap bronkos adalah agenda wajib. Pada setiap kunjungan itu pula Ibu akan menyindir istri Gelar.

‘Wanita zaman sekarang lebih senang buang duit suami di mal ketimbang meracik bumbu di rumah. Mana mau tangannya tergores pisau, kebledosan minyak, matanya pedas ngupas bawang merah, atau kecocol cabe. Nggak gampang lhop cari calon menantu yang mumpuni di dapur.’ (hal 45).

Dengan alasan itu dan atas saran Gelar, akhirnya istrinya belajar membuat brongkos pada mertua dan itu bukan hal mudah terlebih ia tidak terbiasa di dapur. Dapur jadi semacam medan perang (hal  50 )Bisa dikatakan  bukan ide cerita yang baru. Namun penulis berhasil membuatnya  terasa beda  karena penulisan tempat adegan cerita berlangsung  cukup  detail  dan alur yang runut.

Cerita yang tak kalah menarik adalah cerita berjudul Gohu Buat Ina, ide ceritanya unik dan cerita tuntas dalam adegan percakapan yang mungkin kurang dari satu jam bertempat di  dapur saat Ina dan Andine membuat Gohu.  Tentang bagaimana Gohu – semacam rujak pepaya mengkal dengan bumbu bakasang (terasi khas menado) – membuat Ina bersuka cita memakannya karena ia tengah hamil muda, namun terasa pahit bagi Andine karena saat itu Gohu mengingatkan pada masa lalunya  yang buram dan terasa keji.

Gohu Buat Ina adalah cerita yang paling saya suka, ‘sense’ nya kerasa banget, natural plus gaya penceritaannya yang unik alias jarang.

Kumpulan cerita ini ditulis lima penulis perempuan yang mungkin namanya masih asing untuk para penggemar fiksi,  namun kebolehan mereka menulis bisa dilihat dari gaya penceritaan yang berbeda dari cerita-cerita metropop pada umumnya. Detail tempat yang dituliskan dengan baik, sudut pandang penceritaan baru dan ada beberapa cerpen dengan ide yang tidak biasa dalam ranah cerita pendek metropop tanah air. Seperti dalam cerita yang berjudul Nama Untuk Raka (hal 200) dan Pasien (228), namun masuk akal jika  terjadi dalam kehidupan nyata.

Kalau biasanya fiksi yang dilabeli genre metropop mengisahkan cerita  dengan latar belakang kelas menengah perkotaan maka dalam kumpulan cerpen ini merangkum banyak sisi kehidupan kota besar.  Kisah perantauan yang hidup dalam rumah- rumah kontrakan berukuran 3x3, penggusuran lahan, demonstrasi, stres, depresi yang seperti menjadi wabah baru di kalangan  menengah masyarakat perkotaan, dan cerita dengan tokoh utama peranakan Tionghoa yang tetap lekat dengan budaya dan tradisi di tengah gempuran moderisasi, seperti dalam cerpen Bakcang Terakhir (hal 32), yang bercerita mengenai reinkarnasi.

Kelima penulis berbakat ini ‘ditemukan’  Maggie Tiojakin, seorang penulis yang karyanya diperhitungkan di dunia kepenulisan fiksi tanah air.  Maggie  membekali dengan kursus menulis kreatif sebelum kelima penulis ini berembuk untuk membukukan tulisan-tulisan mereka.

Tak heran jika penyusunan buku yang terdiri dari empat bab ini didasarkan pada katagori latihan menulis. Bab 1 bertema kuliner, bab 2 bertema demonstrasi, bab 3 cerita dengan basis prompter yaitu dengan kalimat pembuka cerita yang sudah di tentukan dan bab terakhir cerita dengan tema bebas. Setiap penulis menulis satu cerita pada setiap bab. Buku ini cocok juga dibaca orang yang tertarik belajar menulis fiksi khususnya cerita pendek seperti bagaimana menemukan ide, bagaimana sebuah ide bisa menjadi banyak cerita dan tema.

Catatan: Sebenarnya ada beberapa masukan dan sedikit kritik untuk -cerpen Orin, tapi di PM aja ya xixixi



Jumat, Maret 14, 2014

Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak



Judul Buku          : Rahasia Ayah Edy Memetakan Potensi Unggul Anak
Penulis                : Ayah Edy
Penerbit              : Noura Books
Tahun                 : Februari  2014
Hal                     : 175
ISBN                 : 978-602-1606-38-4
Harga                  : rp.42.000,-

Memetakan  Potensi Unggul Anak Sejak Dini
resensor rina susanti

*resensi ini dimuat di koran jakarta beberapa hari lalu dan di edit cukup banyak sehingga menurut saya kurang komprehensif. Berikut versi asli sebelum di bedah editor korjak. Versi korjak bisa dilihat di sini 
Setiap anak lahir dengan membawa bibit unggul masing-masing. Anak yang memiliki bibit dokter jika dirawat dengan tepat, kelak ia akan tumbuh menjadi ‘pohon dokter’, begitu pun anak dengan bibit pelukis akan tumbuh menjadi ‘pohon pelukis’ jika diasah dan dikembangkan dengan baik. Sayangnya, bibit apa yang dimiliki seorang anak tidak terstempel di dahinya, orangtua dituntut jeli membaca petunjuk – petunjuk di bawa anak sejak lahir.  Anak yang membawa bibit pelukis, biasanya sejak kecil sudah terlihat senang menggambar dan memberikan hasil gambar yang kualitasnya baik ketika diajari.
Namun adakalanya orangtua ‘memaksakan’ minat dan bakat anak dengan tujuan agar kelak si anak sukses. Sukses yang umumnya dikaitkan dengan pekerjaan yang  bisa memberikan penghasilan besar.  Tak heran jika saat memasuki jenjang kuliah, banyak orangtua menuntut anak masuk jurusan-jurusan favorit tak peduli anak tidak berminat atau tidak berbakat terhadap bidang itu.
Akhirnya bibit pelukis tumbuh menjadi ‘pohon dokter’, bibit sutradara menjadi ‘pohon insinyur’.  Mereka tumbuh menjadi dokter atau insinyur tanggung karena bekerja dengan setengah hati, tidak bahagia  dan bekerja hanya demi uang.  Mereka tidak memiliki impian dan idealis sehingga peluang untuk melakukan korupsi  besar.
Padahal jika kelak seorang anak bekerja dan mencintai pekerjaannya – walaupun bukan pekerjaan yang katanya berpenghasilan besar – ia akan bekerja dengan sepenuh hati dan bukannya cuma sibuk memburu uang, justru uanglah yang akan mengejarnya (hal 13).

Di sinilah diperlukan kebesaran hati orangtua  jika ternyata potensi ungul anak tidak sesuai yang diinginkan, atau bukan potensi yang populer di kalangan masyarakat umum, misal anak berminat dan berbakat menjadi seorang dalang.

Mengetahui potensi unggul anak sejak dini, akan memudahkan orangtua mengasah dan mengembangkannya sejak dini pula sehingga saat memasuki usia remaja anak sudah memiliki impian dan tujuan masa depan. Anak yang sudah memiliki impian dan tujuan masa depan tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan buruk seperti tawuran, narkoba dan pergaulan bebas.

Selain itu, mengetahui potensi unggul anak sejak dini  sama dengan menyiapkan anak-anak kita menjadi sumber daya manusia (SDM) yang siap menghadapi pasar bebas dan menjadi tuan di negara sendiri.
Seperti kita kita ketahui, era pasar bebas sudah dimulai sejak tahun 2010, tahun 2015 negara kita akan bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN.  Tak lama lagi para pencari kerja akan bersaing dengan para pencari kerja dari berbagai negara ASEAN. Dan saat itu  yang dibutuhkan adalah SDM yang berkualitas dan spesialisasi (hal 17).

Bagaimana dengan anak yang diberi label tertentu oleh sekolah atau psikolog, seperti anak hiperaktif, autis, slow learner, disleksia. Label yang umumnya membuat para orangtua pesimis dan bingung dengan masa depan anaknya kelak. Banyak fakta sejarah bagaimana anak-anak yang dianggap ‘bodoh’ ternyata jenius sebuat saja Albert Einsten atau Thomas Alpha Edison, di keluarkan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Dari dalam negeri ada Marta Tilaar, beliau dulu dianggap anak slow learner, namun kini menjadi pengusaha sukses dan dikenal sebagai tokoh kecantikan yang sudah mendunia, kisahnya ada di halaman 104. Artinya, orangtua berperan penting menentukan kesuksesan seorang anak kelak bukan hanya sekolah.  Homeschooling bisa menjadi pilihan.  

Memetakan Potensi Unggul Anak
Bagaimana kita sebagai orangtua mengetahui potensi unggul anak? Dalam bukunya ini disebutkan lima langkah yang harus dilakukan orangtua untuk mengetahui potensi unggul anak.

Tapi sebelum kelima langkah itu dilakukan orangtua harus di pahami dulu apa itu minat dan bakat. Minat dan bakat/potensi biasanya berimpitan namun dua hal yang berbeda. Minat adalah aktivitas yang kita sukai dan merasa senang mengerjakannya tapi belum tentu aktivitas itu merupakan bakatnya. Sedangkan bakat berhubungan dengan hasil. Anak dengan bakat melukis misalnya, ketika di ajari melukis akan memberikan hasil signifikan.

Adapun lima langkah itu adalah; melakukan stimulasi, menentukan minat dan bakat anak, menguji coba minat dan bakat, penajaman profesi atau memberikan pengetahuan mengenai profesi yang kelak diinginkan anak sesuai minat dan bakatnya terakhir membuat rencana masa depan atau membuat rencana dan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk anak mencapai kesuksesan dengan potensi unggul yang dimilikinya.

Hal lain yang ditekankan dalam buku ini adalah bahwa uang bukan segalanya, artinya keterbatasan uang bukan halangan untuk mengasah dan mengembangkan potensi unggul anak.

Buku ini ditulis Ayah Edy berdasarkan pengalamannya sebagai praktisi dan konsultan Parenting, jadi selain teori buku ini juga berisi contoh memetakan potensi unggul anak  dari klien Ayah Edy.  Ada juga kisah inspiratif dari orang-orang berbakat nomor satu di dunia dan bagaimana mereka ditemukan potensinya sejak dini oleh orangtua mereka, seperti pembalap dunia Michael  Schumacher   atau  Agnes Monica penyanyi yang mencapai kesuksesannya di usia belia.

Buku ini sangat direkomendasikan untuk para orangtua dan calon orangtua.

Review buku Ayah Edy yang lain di sini 

versi korjak



Menanti Cinta



Judul Buku          : Menanti Cinta
Penulis                 : Adam Aksara
Penerbit              : Mozaik Indie Publisher
Tahun                   : 2014
Hal                          : 221
Menanti Cinta

resensor rina susanti
Cinta itu pengorbanan, begitu kata sebuah pepatah. Klise, tapi begitulah kenyataannya. Demi mengejar cinta apa pun dilakukan walaupun kadang kala pengorbanan yang dilakukan melampaui ‘logika’.
Seperti yang dilakukan Alex pada Claire, gadis miskin putri seorang pelacur. Demi membebaskan Claire dari perlakuan tidak senonoh atasannya di Mark’S Burger, tempat Claire bekerja paruh waktu, Alex membeli tempat tersebut dengan cara memaksa dan mengancam pemiliknya. Agar Claire bisa nyaman menunggu jam pulang kuliah, Alex mengusulkan membuka perpustakaan lama di kampusnya. Supaya kuliah Claire tetap bisa berjalan, Alex memberi beasiswa ‘khusus’. Untuk memberikan Claire kehidupan normal, aman dan nyaman, Alex membayar kedua orangtua Claire untuk pergi dari kota itu. Claire menjadi apa yang diharapkan Alex, tinggal aman dan nyaman di sebuah rumah besar yang tak lain adalah rumahnya.
Sekilas pengorbanan yang dilakukan Alex mengingatkan saya pada dongeng-dongeng khas ‘princess’ masa lalu. Putri yang lemah dan menderita, di selamatkan pangeran ganteng dan kaya raya.
Claire memang di deskripsikan cantik, sedangkan Alex walaupun kaya raya, dia cacat, kakinya terserang virus polio saat dia kecil.
Bunga-bunga cinta mulai tumbuh di diri Claire begitu ia tinggal di rumah Alex. Sempat terjadi konflik batin, pada Claire maupun Alex, mengenai makna cinta dan rasa kasian akhirnya keduanya bersatu dalam ikatan cinta.
Tapi akan kah cinta keduanya menyatu dalam ikatan sakral yaitu pernikahan?
Gaya penceritaannya cukup mengalir, hanya saja menurut saya penulis mendeskripsikan kemiskinan dan penderitaan Claire dengan berlebihan bahkan berulang. Deskripsi seperti ini (bukan deskripsi alur) kurang memberi ruang untuk membaca bereksploitasi dengan imajinasinya. Mungkin maksudnya untuk memberi efek emosi pada pembaca, tapi bagi saya sendiri jadi terkesan cengeng. Terlebih Claire menangis untuk hal-hal kecil, seperti saat ketangkap basah makan di perpustakaan. Menilik latar belakang Claire yang selalu di siksa ibunya dan hampir diperkosa ayah tirinya, harusnya hal sepele seperti itu membuatnya kuat. Cengeng bukan saja  berarti mudah menangis tapi soal sikap yang lemah sebagai perempuan.
Kritik memang tidak bisa lepas dari selera pembaca, mungkin karena saya tidak suka tokoh perempuan cengeng dan lemah, jadinya gregetan. Begitupun Alex di adegan Alex menangis. Saya bukan anti lihat cowok menangis, tapi gentlemen biasanya menangis hanya untuk hal-hal luar biasa.
Ada beberapa cerita yang kurang logis, tentang Alex yang sebelum 15 tahun, seorang diri (tidak diceritakan dibantu),  sudah melakukan puluhan percobaan membuat produk kimia dan kemudian membuat pabrik dengan dukungan kakak-kakaknya.  Menurut saya akan sulit sekali melakukan percobaan kimia seorang diri dengan kondisi Alex yang cacat.  Saya sudah merasakan belajar dan praktikum (plus kerja) kimia soalnya hehehe selama hampir 20 tahun. Menurut saya sich akan lebih masuk akal jika kekayaan Alex misalnya di dapat dari perusahaan yang diwariskan orangtuanya, jadi dia hanya menjalankan.
Dan soal Alex dan Claire yang tinggal serumah dengan status pacar tentu sah-sah saja (bagi yang berpandangan sah lho ya, bukan saya hhehe) tapi menjadi tidak etis karena di rumah itu ada kost-kost mahasiswa dan mahasiswi, efeknya kan kurang bagus apalagi profesi Alex dosen.
Duh, kok jadi kebanyakan kritiknya ya....
Yang pasti cinta tidak pernah membebani walaupun harus banyak berkorban, begitu kira-kira pesan dari buku ini yang saya tangkap.


Jumat, Maret 07, 2014

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Judul Buku          : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis                 : Tere Liye
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Tahun                   : Januari  2012
Hal                          : 503
ISBN                      : 978-979-22-7913-9
Harga                    : -







Kisah Cinta Seorang Pemuda Berhati Lurus

resensor rina susanti

Mereka yang pernah jatuh cinta tentu tahu rasanya berharap-harap cemas, gemetar dan malu menyatakan perasaannya. Kecemasan yang sebenarnya dibesar-besarkan perasaan takut kehilangan, takut tak bertemu dan takut ditolak.

Dalam masalah ini, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. (hal 133).
Perasaan itu pula yang dialami Borno sejak dia bertemu Mei, seorang gadis berparas Cina peranakan yang tak lain adalah penumpang sepit*nya. Penumpang yang menjatuhkan angpau merah di sepitnya.

Berbagai cara dilakukan Borno agar sang gadis yang sampai di dermaga setiap pukul 07.15  menaiki sepitnya. Setelah berhari-hari akhirnya upaya itu berhasil. Bersamaan dengan itu Borno di dera perasaan yang tidak ia mengerti.
“...aku tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba terobsesi padanya. Karena aku tidak berani langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak berani menegur, apa  lagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang memenuhi kepala...” (hal 97)
Ya, bahkan Borno tak memiliki keberanian untuk menanyakan namanya sampai Pak Tua menasehati. Namun malang, cara perkenalan itu tidak semulus skenario yang sudah  Borno rancang, basa-basi yang dilontarkan Borno malah membuat si gadis tersinggung. Borno cemas sang gadis marah dan tidak mau menaiki sepitnya lagi.  Namun tanpa di duga sang gadis yang kemudian mengaku  bernama Mei, mengirimkan sebaris pesan, meminta Borno mengajarinya mengemudikan sepit.

Sayangnya pada hari yang disepakati Borno terlambat datang karena ia harus mengantar dan menunggui Pak Tua di rumah sakit. Borno kebingungan dan cemas, karena sebelumnya Mei mengatakan bahwa kemarin adalah hari terakhir dirinya mengajar di Yayasan, masa magangnya sudah berakhir. Kali ini dengan menggunakan instingnya – bukan atas saran Pak Tua – Borno mendatangi yayasan dan meminta alamat Mei. Karena iba dan melihat kesungguhan Borno,  akhirnya kepala sekolah memberikannya.

Borno, bujang berhati paling lurus di tepi sungai kapuas, karena keluguan dan kepolosannya lah kisah cinta sepasang muda-mudi ini jadi menarik.  Seperti cara paling masuk akal sekaligus kocak saat Borno mencari tahu alamat Mei di Surabaya dengan menelpon semua nomor bernama Sulaiman dan Soelaiman, dan bisa diduga, ada kebetulan yang membuat akhirnya mereka bertemu di Surabaya. namun sayang, Ayah Mei meminta Borno untuk menjauhi Mei.

Sebenarnya  Borno tidak ingin menjadi pengemudi sepit, seperti yang pernah di nasehatkan bapaknya, “....jangan pernah jadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu punya sepuluh perahu, kaya raya, tapi lihatlah, dia meninggal dengan mewariskan utang. Jangan pernah jadi pengemudi sepit.” (hal 53) Namun pilihan kesempatan justru menjadi pengemudi sepit, setelah berbagai macam pekerjaan di lakoni.
Ayah Borno seorang nelayan, tewas tersengat ubur-ubur, namun sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia medonorkan jantungnya. Hal yang memicu kemarahan Borno, karena menurutnya ayahnya masih bisa hidup jika tidak berbaik hati mendonorkan jantungnya. Usia Borno saat itu 12 tahun.

Berawal dari ketertarikan Borno pada bagaimana mesin sepit bekerja, ia mulai  belajar mengenai mesin secara autodidak, dari buku-buku yang dipinjamkan Pak Tua dan buku yang dihadiahkan Mei untuknya. Sampai suatu hari Bapaknya Andi,sahabatnya, melihat bahwa Borno memiliki bakat menjadi montir, Borno cepat paham masalah permesinan,  dan mengajaknya berkonsinyasi dengan membeli  bengkel di sebuah jalan protokol.  

Sayangnya transaksi tidak berjalan mulus, padahal Bapaknya Andi sudah menjual rumahnya dan Borno menjual sepitnya, mereka ditipu. Lalu bagaimana kelanjutan kisah cinta Borno dan Mei? Dan akankah Borno memiliki bengkel sendiri? Kalau saya ulas di sini spoiler donk hehe

Jujur saja, setelah membaca buku ini sampai halaman terakhir saya mengernyitkan dahi, dan berguman sambil nyengir,’buku setebal ini hanya mengisahkan orang jatuh cinta? Gundah gulananya orang yang dimabuk cinta.’ Tapi tak perlu khawatir bosan memba.canya, karena Tere Liye, mengemas layaknya perasaan orang jatuh cinta,  manis, kocak, herois dan haru. Dan pelajaran  hidup mengenai makna cinta dan hidup yang di dapat Borno. Borno belajar bersikap bijak dari Pak Tua dan memiliki kebaikan seperti bapaknya.
Penulis tak luput menyertakan dialek khas masyarakat tepian sungai Kapuas Kalimantan.

Sedikit kritik, tokoh-tokoh utama dalam buku ini, terlalu lurus dan baik. Termasuk Borno yang menurut saya terlalu polos dan lugu untuk ukuran jaman saat itu.  Di dalam buku tidak disebutkan secara detail waktu, tapi dari tidak adanya penggunaan handphone, malah telpon umum koin, diperkirakan era 90 –an.

Lepas dari itu, buku ini inspiratif dan bahwa cinta bisa melumerkan perbedaan status sosial dengan cara yang manis.