Rabu, Desember 21, 2011

Tiger Mom



Judul Buku          : Battle Hymn of The Tiger Mother
Penulis                 : Amy Chua
Penerbit              :Gramedia Pustaka Utama
Tahun                   :2011
Hal                          : viii + 237

Tidak berlebihan jika Guardian menilai  buku ini sebagai buku yang paling kontrovesial. Bagaimana tidak, cara membesarkan anak  yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua anak perempuannya, Sophia dan Louisa, bertentangan dengan semua teori pengasuhan  yang diamini semua pihak selama ini. Bahkan bukan tidak mungkin cara membesarkan anak yang  dilakukan Amy Chua pada kedua putrinya bertentangan dengan hak anak. 

Apa yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua putrinya? Diantaranya tidak boleh;  memilih kegiatan ekstrakurikuler sendiri, bermain alat musik selain piano dan biola. Anak harus menjadi juara satu di sekolah. Ini harga mati dan tidak ada tawar menawar. Intinya, Amy Chua tidak sedikitpun memberikan pilihan kepada kedua putrinya mengenai apa yang mereka sukai atau tidak. Mana yang mereka inginkan atau tidak. Amy Chua mengendalikan bahkan memaksankan semua kegiatan  yang dilakukan kedua putrinya setiap hari. Terdengar kejam dan mengerikan? Ehm, sungguh buku yang membuat saya tidak sabar untuk menuntaskannya sampai halaman terakhir.

Sebelum genap usia kedua putrinya lima tahun Amy Chua mengeleskan keduanya kursus piano, namun dengan berjalannya waktu dan berbagai pertimbangan  si sulung Sophia yang tetap kursus piano sedangkan adiknya Louisa bermain biola.

Sekedar les musik seperti dilakukan kebanyakan orang tua masa kini? Tidak, Amy Chua bukan hanya menghadiri setiap sesi latihan kedua putrinya tapi berusaha mengerti dan menghayati setiap nada yang dimainkan untuk mencapai kesempurna sehingga saat sesi latihan di rumah, dialah yang bertindak sebagai guru. Ia mewajibkan kedua putrinya berlatih musik di rumah selama 90 menit setiap hari, dua kali lipat saat hari les dan lima hingga sepuluh jam saat akan menghadapi undangan konser. Tiap hari tanpa kecuali pun saat liburan musim panas ke luar negeri. Ya, Amy Chua selalu punya cara yang tidak masuk akal bahkan di nilai gila  oleh kedua putri dan suaminya yang membuat sesi latihan musik tetap berlangsung di belahan negara manapun mereka berlibur.

Buku ini adalah kisah nyata bagaimana Amy Chua  membesarkan kedua putrinya sehingga menjadi menjadi pemain musik yang berbakat pada usia sangat dini, sebelum mencapai usia 15 tahun. Cara membesarkan anak yang Amy Chua lakukan sama dengan yang dilakukan ibunya saat ia masih kecil. Cara yang disebutnya sebagai cara membesarkan anak ala ‘ibu china’. Cara yang dinilai sebagian besar orang ‘kejam’. Terlebih Amy Chua dan keluarganya tinggal di Amerika. Negara dimana kebebasan dan hak asasi   dijunjung tinggi.   Namun menurut Amy Chua justru cara seperti itulah yang membuat anak dari ibu-ibu china sukses terutama dalam bidang sciences dan musik.  Selain karena Amy Chua takut kualitas keluarganya merosot. Mengingat sebuah pepatah  China yang mengatakan ‘kemakmuran tidak pernah bertahan lebih dari tiga generasi.’
Cara membesarkan anak yang dilakukan Amy Chua terhadap kedua putrinya bukan tidak mendapat bertentangan. Pertentangan itu salah satunya berasal dari ibu mertuanya. Pertentangan yang membuat hubungan Amy Chua dan mertuanya tidak memiliki sentuhan personal.  Namun yang perlawanan cukup keras justru datang dari putri keduanya, Louisa, saat berumur tiga tahun dan puncaknya saat berumur 13 tahun. Perlawanan yang dilakukan Louisa diluar dugaannya mengingat salah satu aturan ‘ibu china’ dalam membesarkan anaknya adalah anak harus patuh dan hormat pada orang tua, apapun yang terjadi.

Buku ini ditulis dengan bahasa mengalir dan ringan. Dengan tuturan yang blak-blakan namun cerdas bahkan kadang jenaka yang membuat pembaca enggan mengambil jeda untuk berhenti. Selain akhir dari kisah keluarga ini membuat penasaran.

Cara yang dilakukan Amy Chua dalam membesarkan dan mendidik anaknya  sangat mungin tidak cocok di terapkan pada keluarga lain tapi dari caranya kita bisa belajar mengenai seberapa besar  ketekunan, kerja keras, disiplin  dan pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

Amy Chua lahir dari keluarga imigran China terpelajar, ayahnya seorang akademisi. Amy Chua menamatkan kuliah hukumnya di Harvard dan menjadi profesor di Yale Law School. Menikah dengan seorang Yahudi Amerika yang juga profesor di Yale Law School.







Kamis, Desember 15, 2011

A Cup Of Tea For Complicated Relationship



Judul buku      : A cup of Tea for Complicated Relationship
Penulis             : Lygia Pecanduhujan dan Herlina P. Dewi  (sebuah antologi)
Penerbit           : Stiletto Book
Tahun              : Agustus 2011 (cetakan 1)
Hal                  : 208  halaman

Dicinta dan mencintai kerap kali tidak berujung mulus pun ketika cinta itu telah di ikat dalam sebuah komitmen yang sakral yaitu pernikahan. Tidak juga berlaku hukum lamanya saling mengenal (pacaran) menjadi jaminan langgengnya sebuah ikatan pernikahan. Ada yang tanpa diawali proses pacaran sebuah ikatan pernikahan  langgeng. Mungkin itu cara Tuhan membuat kita lebih bijak dan arif memaknai hidup untuk kemudian mensyukuri.


Perbedaan keyakinan (agama) biasanya menjadi hal yang membuat sebuah hubungan rumit. Andaipun yang menjalan hubungan tidak merasa rumit dengan keyakinan bahwa 'mengimani Tuhan yang Satu, Tuhan pencipta Semesta. Meski cara kami bertemu Tuhan memang berbeda, tetapi kami tidak pernah memandang perbedaan itu sebagai sebuah masalah' (hal 28), tapi bagi pihak keluarga dan teman, tetap memandangnya sebagai hubungan yang rumit. Seperti  kisah yang dituturkan Ririe Rengganis.

Ya, bagi sebagian orang bicara mengenai   perbedaan agama yang kemudian disatukan dalam ikatan pernikahan tidaklah sesederhana ungkapan Satu Tuha, beda jalan. prinsip ini yang di yakini penulis dalam ksiahnya yang berjudul, Selalu tersenyum meski tanpamu, yang menjadi kisah pembuka dalam seri kedua dari buku A cup of Tea (ACOT) for Complicated Relationship. Sebuah buku yang berisi 20 kisah menghangatkan hati mengenai kompleknya sebuah hubungan cinta.

Ikatan pernikahan yang sakral pun tidak serta merta membuat hubungan manis. seperti kisah yang dialami Yani dalam tulisan yang berjudul Saat Harus Memilih. Tahun-tahun awal pernikahan yang biasanya begitu manis terlebih setelah kehadiran si buah hati malah menjadi saat yang menyakitkan. Menyadari kenyataan sosok lelaki yang dinikahi tak punya karakter, pendirian  dan tidak bertanggung jawab. Sikap – sikap yang semestinya dimiliki seorang lelaki sejati sebagai suami dan ayah. Atau perihnya luka yang dialami Puput Happy yang dipoligami dengan iming-iming masuk surga  dan diminta tinggal serumah dengan istri kedua suaminya. Isu yang sangat sensitif untuk perempuan.

Kedua cerita itu memang paling menyentuh untuk saya mungkin karena sudah  menikah dan mengalami rasanya ‘sudah total’ sebagai istri dan mama bagi anak-anak. Totalitas yang  menyakitkan jika sampai dikhianati.

Ada 16 kisah lain yang tak kalah menarik dan bisa dijadikan pembelajaran, terutama untuk para perempuan. cinta memang memabukkan tapi jangan sampai membutakan hati sehingga tega mengkhianati perempuan lain dengan rela menjadi istri kedua.   

Btw, buku yang membuat rasa stukur saya bertambah karena memiliki suami sepertimu - this review dedicated for my husband:)

Oh ya sedikit kritik, cetakan buku kurang rapih, ketebalan tinta kurang merata. but don't judge the book by the cover. 

Kicauan Seorang Entertainer


Judul buku      : Kicau Kacau
Penulis             : Indra Herlambang
Penerbit           : Gramedia
Tahun              : Februari  2011 (cetakan 1)
Hal                  : xv + 332  halaman

Kicauan Seorang Entertainer

Terus terang dan sejujurnya, saya enggan membeli dan membaca buku yang ditulis selebritis jika tidak atas rekomendasi seseorang karena dinilai bagus. Dan buku ini termasuk yang direkomendasikan beberapa teman.

Sesuai judulnya buku ini memang berisi kicauan seorang Indra Herlambang, entertainer yang dikenal sebagai hostnya acara gosip di sebuah stasiun tv. Kicauan mengenai hal-hal kecil dan biasa yang  terjadi di sekelilingnya.  Ditulis dengan gaya yang nyeleneh, sudut pandang  yang berbeda dan kadang nyeleneh sehingga . Entah itu tweeter.

Bab pertama berisi kiacauan Indra soal gaya hidup dan  hidup gaya. Jejaring sosial sebagai bagian dari gaya hidup atau hidup gaya tidak lepas dari kicauannya seperti dalam tulisan  yang berjudul sama dengan judul bukunya Kicau Kacau (hal 5). Apa yang dialami Indra yang keranjingan ngetwit mungkin juga pernah dirasakan banyak orang, menjadi twitter addict (atau fb addict) yang selalu meng up date status. Apa jadinya  ketika kicauan atau status seseorang dibalas dengan kalimat  kurang  sedap termasuk mengangkat  isu politik, kritik pedas dan lelucon berbau politik? Tentu menyelam di dunia ini tidak lagi fun. Seperti yang sempat saya alami, gerah dengan status teman yang alay atau melulu mengomentari isu politik (apa gak capek ya?), dengan senang hati saya  mendelete teman-teman. Bagi saya jejaring social untuk kesenangan dan memanfaatkannya.
Tulisan di hal 38 mengenai gerakan 1000 langkah. Di dorong  rasa penasarannya Indra menghitung langkahnya sendiri selama seharian beraktifitas dan hasilnya tidak mencapai 1000 langkah. Itu  artinya? Awalnya tulisan ini terkesan mengkritisi gerakan 1000 langkah yang digusung produk tertentu namun diakhir tulisan saya dibuat tercenung dengan kalimat ….bukan lagi berapa banyak langkah yang kita buat tahun ini, tapi kemana saja langkah itu akan membawa kita pergi.

Walaupun dalam tulisannya Indra mengaku tak tahu banyak soal politik tapi di bab 3 buku ini yang berkicau mengenai Jakarta, Indonesia dan kesehatan jiwa, kita bisa tahu pengetahuan dan rasa kepedualian seorang Indra soal politik di negeri ini cukup baik. Tanpa menghakimi namun kritis. Ini bisa diliohat dalam tulisannya yang berjudul playground mahabesar bernama Negara. Tulisan yang berisi kritikan terhadap pejabat atau nagarawan yang kadang tingkah lakunya seperti komedian dan kekanak-kanakan. Entah tingkah lakunya maupun statmentnya. Dan sikap kekanak-kanakna itu tentu tentu tidak lepas dari sikap mereka saat kecil dulu. Sikap yang ditanamkan orang tua mereka. Mau menerima kekalahan kah? Jujur atau curang? Sebuah sentilan untuk para orang tua (termasuk saya) yang tidak bisa dilepaskan dari perannya sebagai penentu masa depan bangsa alias melahirkan generasi penerus.

Penjara politik dan eksklusif tidak lepas dari kritik Indra namun lagi-lagi saya sebagai pembaca dibuat kembali memikirkan pikiran saya sendiri mengenai mereka-mereka yang menikmati penjara ekslusif. Apa yang dilakukan narapidana berkantung tebal itu ada benar juga, mereka berusaha menikmati masa dipenjara, caranya ya dengan cara mendekorasi ulang penjara agar nyaman untuk mereka. Membeli tv, memakai AC, wallpaper dsb. Jadi siapa yang sebenarnya dalam penjara? Jangan-jangan saya karena isi kantung kurang tidak bisa melakukan banyak hal yang sebenarnya saya inginkan, sebut saya misalnya AC. Ya, rumah saya belum berAC. Hahahaha 

Buku yang cerdas.