Senin, Desember 14, 2009

Mengikat Makna


-->
Judul: Mengikat Makna Update
Penulis: Hernowo
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Oktober 2009
Tebal: xxxii+213 hal. (termasuk indeks)
-----------------------------------------------
Resensor : M Iqbal Dawami*
(*Staf pengajar STIS Magelang)
AKTIVITAS membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang. Kita dapat menulis suatu subjek akibat dari aktivitas membaca. Apa yang kita tulis adalah apa yang kita baca. Nah, dalam bahasa Hernowo, aktivitas baca-tulis ini disebut sebagai aktivitas “mengikat makna”. Akar dari hal ini diambil dari perkataan Ali bin Abi Thalib:"Ilmu itu seperti hewan buruan, maka ikatlah ia (dengan menuliskannya)." Dalam jagad kepenulisan, nama Hernowo sudah tidak asing lagi. Buku hasil racikannya sudah melimpah ruah. Dan dapat dipastikan, konsep "mengikat makna" bisa ditemukan di semua karyanya. Dan karya-karyanya pun adalah hasil dari pengamalan konsep “mengikat makna.” Bahkan beberapa judul bukunya menggunakan kata-kata ini. Buku-buku Hernowo disukai pembaca karena mempunyai bahasa yang sederhana, ringan, dan mudah ditangkap maksudnya. Hampir di semua bukunya ketika berbicara tentang membaca dan menulis, Hernowo selalu menekankan, bahwa menulis dan membaca bukanlah sebuah beban, apalagi hal membosankan, tapi aktivitas yang menyenangkan nan manfaat. Konsep “mengikat makna” ditemukan atas dasar pengalaman pribadi Hernowo saat bergumul dengan kegiatan membaca. Ketika selesai membaca, tiba-tiba saja banyak materi yang diperolehnya. Agar materi tersebut tidak lupa, maka ia harus dituliskan. Itulah yang dimaksud mengikat makna. Maka, secara tidak langsung kegiatan “mengikat makna” kemudian memberikan sebuah kesadaran akan pentingnya melanjutkan kegiatan menulis usai menjalankan kegiatan membaca. “Mengikat makna” menjadi sebuah proses penemuan diri bagi Hernowo, di mana dirinya tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan unik. Dari seorang yang sering gagap dalam berbicara atau mengutarakan pendapat, menjadi seorang yang bisa menampilkan diri perlahan-lahan dan menemukan gaya-menulisnya. Apa yang kita baca bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa jika kemudian tidak ditulis (atau “diikat”). Sebaliknya, menulis memerlukan membaca karena membaca akan memudahkan kita mengeluarkan pikiran dan perasaan dengan bantuan kata-kata yang telah tersimpan di dalam diri kita. Lebih dari itu, proses membaca dan menulis adalah upaya menghimpun hikmah yang berserak menjadi referensi dalam memperkaya hidup dan kehidupan. Secara gamblang jabaran konsep mengikat makna dapat dibaca dalam bukunya Mengikat Makna (2001). Lantas, apa perbedaan buku terdahulunya (Mengikat Makna,2001) dengan buku terbarunya Mengikat Makna Update (2009) ini yang sama-sama membahas konsep “mengikat makna”. Tak lain, buku ini merupakan pengembangan konsep “mengikat makna” dalam buku pertamanya. Dari pengertian “makna” tidak ada perbedaan dengan terdahulu. Hanya, pada yang pertama rujukan pengertiannya filosofis, sedang dalam buku ini tampak lebih praktis. Poin-poin mengikat makna sendiri ada empat pilar: Pertama, “mengikat makna” adalah kegiatan yang memadukan membaca dan menulis. Pilar pertama ini dianggap sebagai pilar yang paling pokok dan merupakan “nyawa” konsep “mengikat makna”. Kedua, “mengikat makna” adalah kegiatan yang sangat personal atau benar-benar diupayakan agar melibatkan diri pribadi yang paling dalam (inner-self). Ketika seseorang ingin menjalankan kegiatan “mengikat makna”, dia harus menganggap bahwa dirinya sedang berada sendirian di muka bumi. Ketiga, “mengikat makna” memerlukan kontinuitas dan konsistensi karena konsep ini adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak, menari, atau pun mengendarai mobil. Dengan melakukannya secara kontinu dan konsistenlah, seseorang akan merasakan manfaat luar biasa. Keempat, “mengikat makna” akan efektif jika menggunakan teknik membaca dan menulis yang berbasiskan cara kerja otak, yang oleh Hernowo sebut sebagai “brain based writing”. Teknik “brain based writing” sendiri sudah mencakup “reading”. Namun di antara pengembangan dari keempat pilar di atas, yang paling penting dan bahkan inti dari buku ini adalah ada pada pengembangan pilar kedua, yaitu bahwa kegiatan “mengikat makna” perlu dilakukan di “ruang privat”. Ruang privat yang dimaksud adalah sebuah tempat yang di dalam tempat itu hanya ada diri kita: sendirian. Secara hampir mutlak, yang mengendalikan ruang atau tempat ini adalah diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat mencampuri ruang privat milik kita. Sesosok diri dapat melakukan apa saja di dalam ruang tersebut. Tidak ada orang lain, meskipun orang itu sangat kompeten dalam suatu bidang, yang boleh masuk ke ruang tersebut. Dengan menulis di ruang “privat” itulah kita dapat mengeluarkan segenap “diri kita” yang sesungguhnya, karena tak ada yang menilai tulisan kita seperti apa dan apa pula yang kita tulis. Dengan cara itu, pembelajaran menulis akan efektif dan kita akan merasakan plong yang luar biasa. “Ruang privat” inilah yang kerap digunakan Hernowo untuk “mengikat makna”. Efeknya luar biasa, dia menjadi keranjingan membaca dan kemudian menuliskan apa saja—untuk mendapatkan makna—karena “mengikat makna” benar-benar menyelamatkan dirinya dari kebosanan membaca dan menulis. Kita tahu bahwa membaca dan menulis adalah sebuah ketrampilan. Lewat “ruang privat” ini pula, Hernowo dapat menulis secara mencicil dan kontinu, sehingga dia dapat trampil dalam “mengikat makna”. Bagi kebanyakan orang, hal ini yang paling sulit. Harus diakui, untuk dapat menghasilkan tulisan yang baik perlu waktu. Bahkan, perlu memperkaya tulisannya dengan banyak membaca. Oleh sebab itu, menulis di “ruang privat” ini dapat membantu menampung “bahan-bahan” yang belum selesai. Buku ini cocok sekali bagi siapa saja yang ingin belajar menulis bahkan yang sudah lama sekalipun berkecimpung dalam dunia baca-tulis. Buku Hernowo yang berbasis “privat” ini nampaknya selaras dengan apa yang dikatakan Virginia Woolf, penulis Inggris, bahwa cara terbaik untuk membaca adalah dengan menulis. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan individual, pemikiran kritis yang independen, dan pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan. []