Rabu, Juni 25, 2014

Ladies Journey



Judul Buku          : Ladies Journey (kumpulan cerpen)
Penulis                 : Lala Purnomo, Nimas Aksan, Triani Retno dkk
Penerbit              : Stiletto Books
Tahun                  : Juni, 2013
Hal                      : 168
Perjalanan Cinta
Rina Susanti*
Pada hakikatnya hidup adalah perjalanan menggapai cinta. Cinta sang Ilahi dan sesama. Namun jalan menggapai cinta tidaklah selalu mulus, ada cerita tentang rasa kecewa dan sedih. Rasa sedih dan kecewa yang membuat kita belajar makna cinta yang sebenarnya.
Seperti kutipan di halaman 1 ini; Menjadi seorang ibu bukan melulu perkara hamil dan melahirkan. Tanpa harus berdiam di rahimnya, aku tahu dialah ibu yangdipilihkan Tuhan untukku.’ (hal 1)
Mindset yang berkembang di masyarakat, seorang perempuan dikatakan tak sempurna jika tak memiliki anak dari rahimnya. Padahal setiap perempuan lahir dengan naluri keibuan yaitu mampu merawat dan  mencintai seorang anak dengan tulus dan tanpa pamrih. Artinya tanpa melahirkan anak dari rahimnya ia bisa menjadi sosok ibu yang sempurna. Seperti sosok Sulastri di mata Eliana dalam cerita berjudul Ibu di Hatiku.
Cinta kerap membutakan dan menumpulkan logika. Ketika seorang perempuan memilih untuk jatuh di hati seorang lelaki, dia seolah masuk ke sebuah kasino, lalu mempertaruhkan semuanya di meja judi, sembari berharap dia akan keluar dari kasino dengan memenangkan jackpot; bahagia lebih lama dari selamanya(hal 103). Seperti itulah perumpamaan saat Lina memutuskan meninggalkan segala kenyaman kota Surabaya demi Bima. Namun rasa cinta sejati justru datang dari sang Ibu.
Buku ini merangkup perjalanan cerita yang ditulis  perempuan dengan tokoh utama perempuan dalam menemukan cinta. Ada 13 cerpen dalam buku ini dan ditulis bukan para penulis pemula, saya baca dari biografi singkat para penulis yang ada di bagian akhir. Beberapa penulis saya tahu sudah menerbitkan buku solo. Ke 13 cerpen dalam buku ini memiliki gaya cerita yang berbeda dan khas. Begitupun cerita yang diangkat walaupun dengan tema sama yaitu cinta.
Namun begitu menurut saya, kualitas cerpen dalam buku ini tidak setara satu sama lain. Beberapa cerpen tidak terlalu istimewa dna kurang natural  baik dari pemilihan tema maupun gaya penulisan 
Ada cerpen yang mengangkat ide cerita luas tapi dibuat pendek sehingga terkesan cerita di paksa selesai yaitu cerpen My Vegas (un)Wedding. Cerita yang menurut saya kurang logis adalah cerita berjudul Bali Punya Cerita. Bagaimana Nadia hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 x 24 jam, merasa yakin bahwa Phillippe adalah cintanya padahal ia baru saja mengalami kegagalan bersama Robert. Mungkin ceritanya akan wajar jika Nadia seorang gadis, bukan mama beranak satu.  
Sebuah cerita fiksi bukan sekedar cerita hiburan tapi  haruslah memiliki ‘rasa’ yang menyentuh pembaca.  Cerita yang menyentuh bukan hanya di dapat dari ide cerita yang diangkat tapi bagian dari sisi kemanusian/karakter si tokoh yang harus di eksplorasi maksimal sehingga memberi ‘rasa’ pada pembaca tanpa mengajari.
Secara keseluruhan cerpen-cerpen dalam buku ini cukup bagus untuk dinikmati menemani perjalanan mencari cinta J

*penikmat cerpen.






Rabu, Juni 18, 2014

Memoir of a So Called Mom





Judul Buku          : Memoir of a So Called Mom
Penulis                 : Poppy D. Chusfani
Penerbit              : Gramedia
Tahun                   : 2014
Hal                          : 148
ISBN                      : 978-602-03-0314-7











Memoir Seorang Ibu

Kalau di pikir-pikir, ada kalanya menjadi ibu itu dorongan lingkungan. Sebelum terbersit jadi ibu di benak seorang perempuan, keluarga, kerabat dan teman yang ada akan mendorongnya dengan pertanyaan,”Kapan nikah?” atau,”Udah punya calon belum?” Yap, budaya Indonesia yang kekeluargaan, sering ‘menjerumuskan’ kata kekeluargaan menjadi merasa dan harus tahu urusan keluarga dan kerabat.

Itu juga yang dialami Amelia, dan sangat mungkin sebagian besar perempuan mengalami hal yang sama. Amelia menjelang usia pertengahan dua puluh dan baru lulus kuliah, saat  diberondong dengan pertanyaan kapan menikah, dari keluarga, kerabat dan teman. Pertanyaan lumrah tapi tak urung membuat banyak perempuan kecut karena terlalu sering dilontarkan dan berkesan itulah capaian seharusnya seorang perempuan.

Aku sudah kehabisan cara untuk mengelak. Kenyataan bahwa aku dan Baron belum bekerja dan belum memiliki uang untuk mulai berumah tangga tidak membuat mereka gentar.(hal 13)

Setelah menikah pertanyaan beruntun selanjutnya adalah kapan punya anak? Dan biasanya di susul dengan berbagai asumsi dari si penanya jika kehamilan yang di nanti tak kunjung tiba. Dikaitkan dengan kebiasaan dan mitos yang tak masuk akal. Pada posisi ini biasanya perempuanlah yang merasa dihakimi. Tak berlebihan rasanya jika Amelia menulis; menjadi hamil adalah perjuangan menjaga kehamilan adalah pertempuran (hal 16).

Yap, pertempuran menghadapi morning sick, sederet keluhan lain yang biasa di alami perempuan hamil dan beragam mitos yang tak masuk akal tapi dipaksakan untuk dilakukan. Seperti perihal meminum air kelapa muda yang di katanya bisa membuat bayi berkulit putih dan tidak boleh berhubungan intim dengan suami selama kehamilan. Mitos yang sudah umum ada di masyarakat. Tapi itu belum seberapa di banding saat mendengar komentar bahwa apa yang dialami Amelia hanya sebentuk sikap manja ketika memutuskan berhenti bekerja  atas rekomendasi dokter agar tidak keguguran. Amelia memutuskan penjadi pekerja lepas.
Tapi ‘perseteruan’ sesungguhnya menjadi ibu dimulai saat buah hati yang dinamainya Anika lahir. Ibu baru di hadapkan pada berbagai saran dan pilihan yang akan selalu menuai komentar positif dan negatif.  Dari mulai ASI sampai status seorang ibu; bekerja atau tidak bekerja.

Amelia sering di buat jengkel dengan komentar bahwa sebagai ibu rumah tangga, posisinya santai dan enak. Pada saat bersamaan dia juga mendengar komentar negatif mengenai ibu bekerja yang dinilai tega memberikan anaknya pada baby sitter. Dari kakak perempuannya yang seorang wanita karir Amelia melihat bahwa tidak semua ibu bekerja angkat tangan soal urusan rumah dengan alasan tidak sempat. Kakak perempuannya selalu memasak sebelum berangkat bekerja dan bisa tiba-tiba menjemput anaknya untuk membuat kejutan. Amelia justru iri karena ibu bekerja bisa memiliki jadwal yang teratur untuk melakukan banyak hal. Tidak tergantung rengekan atau kerewelan anak. Tapi dari situ Amelia menyadari satu hal, kesamaan menjadi seorang ibu adalah ikhlas berkorban. Jika seorang perempuan memilih untuk menikah dan memiliki anak, dia harus mengorbankan kepentingannya sendiri sampai ke level paling tinggi. Waktu mereka untuk diri pribadi sangat sedikit (hal 70).

Saat Anika memasuki usia sekolah, pilihan sekolah tak urung jadi komentar di antara keluarga besar. Secara tidak langsung sepertinya setiap kerabat ingin menunjukkan pilihannya yang paling benar dan baik untuk anaknya. Termasuk dalam hal merencanakan kesuksesan anaknya kelak. Pada saat bersamaan  roda kehidupan ekonomi keluarga Amelia berputar dan tibalah masa-masa sulit yaitu saat perusahaan tempat Baron, suaminya bekerja bangkrut. Keadaan ini  memperburuk kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan malah dinilai miskin oleh keluarga besarnya.

Walaupun Amelia tidak menyesali jalan hidupnya namun ia sempat berandai-andai. Andai ia mengejar karir sebelum menikah seperti beberapa  temannya, andai tidak berhenti kerja dan andai Baron memiliki karir cemerlang.

Kesulitan ekonomi, nasehat dan komentar ini itu yang kadang tidak sejalan dengan standar dan  idealismenya dalam membesarkan anak di tengah ‘persaingan’ keluarga besar, membuat Amelia belajar banyak hal termasuk arti sebuah rasa syukur.

Buku yang isinya merupakan kisah inspiratif suka dukanya ibu muda perkotaan cukup banyak  tapi sangat sedikit yang di kemas dalam bentuk novel. Salah satunya novel ini, yang bercerita mengenai seorang ibu bernama Amelia dan ditulis dalam bentuk memoir.

Walaupun novel ini ditulis dalam bentuk memoir namun ditulis  gaya bahasa yang santai dan blak-blakan, khas novel metropolitan. Tapi ada beberapa kalimat yang menurut saya ungkapan atau metapora yang digunakan terlalu kasar. Seperti dalam kalimat di halaman 46. Dengan jengkel akhirnya aku menjawab, “Tidak juga. Kalau mau tahu seperti apa sakitnya, sini aku korek bola matamu pakai garpu.”


Secara konten buku ini layak di baca para perempuan dan ibu. Namun dari segi penggunaan bahasa, yang tidak pernah membaca fiksi dengan metapor kasar akan merasa tak nyaman. Penulis, lewat tokohnya Amelia, akan membuat para ibu makin menyadari bahwa menjadi ibu adalah  proses belajar dan berjuang seumur hidup.

Senin, Juni 09, 2014

Kumpulan Cerita Absurd Maggie Tiojakin


Judul Buku          : Selama Kita Tersesat di Ruang Angkasa
Penulis                 : Maggie Tiojakin
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Tahun                   : Juli  2013
Hal                          : 241
ISBN                      : 978-979-22-9616-7
Harga                    : rp.55.000,-









setelah satu tahun numpuk di rak, baru sempat diresensi ;p

Kumpulan Cerita Absurd

Selama Kita Tersesat di Ruang Angkasa adalah kumpulan cerita absurd yang ditulis Maggie Tiojakin. Penulis yang pernah mengecap pendidikan menulis kreatif di Boston AS dan  magang di beberapa media massa di Amerika. Selain sebagai penulis dan jurnalis, Maggie juga telah menerjemahkan beberapa cerita pendek dan dibukukan, salah satunya fiksi lotus, kumpulan cerpen klasik dunia. Beberapa cerita dalam buku ini pernah di terbitkan di beberapa majalah/jurnal dalam dan luar negeri. Buku ini terdiri dari empat belas cerita berbahasa Indonesia dan lima cerita  berbahasa Inggris.

Sebelum buku ini, Maggie telah menerbitkan satu buku kumpulan cerpen berjudul Balada Cing-Cing (2010) dan novel berjudul Winter Dream (2011)

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, absurd berarti aneh, tidak masuk akal atau mustahil.  Ehm, lalu apa bedanya dengan fiksi fantasi? Tentunya saya tidak akan mengupas semua cerita dalam buku ini. Hanya cerita yang menarik dan mewakili maksud absurd menurut saya.

Dibuka dengan cerpen berjudul Tak Ada Badai di Taman Eden, kisah seorang istri bernama Anouk yang tengah menatap langit mendung yang menumpahkan hujan. Tak lama suaminya, Barney datang. Kekakuan antara keduanya bisa terasa dari dialog yang diucapkan dan bahasa tubuh yang dideskripsikan penulis. Kekakuan yang disebabkan kejadian tiga tahun lalu, saat mereka bertengkar di kendaraan dalam perjalanan keluar kota. Barney lepas kendali sehingga mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan.

Diluar hujan belum berhenti, ketika Barney  menikmati makan malamnya dengan pizza yang dipesannya sementara Anouk memilih pergi ke ruang tamu.  Saat gemuruh langit menyebabkan aliran listrik mati, Barney melihat dengan mata dan kepalanya sendiri kepingan langit yang jatuh berurai ke tanah, satu demi satu...meninggalkan kekosongan luar biasa...(hal  9). Dan  apakah hubungan keduanya akan kembali setelah Barney tersenyum tulus dan berkata pada Anouk seolah untuk menenangkan,”Tidak apa-apa. Cuma badai biasa.”

Dia, Pemberani, bercerita mengenai rasa kekhawatiran dan ketakutan Zaleb  karena suaminya, Masaai,  memiliki hobi yang ekstrim. Gemar menentang alam dengan nyawa sebagai taruhannya. Karena bagi Masaai itulah cara merayakan hidup dan bahwa hidup adalah milik para pemberani.

Masaai melakukan base jumping yaitu menjatuhkan diri dari gedung tinggi dengan hanya menggunakan parasut biasa. Cave diving atau  menyelami gua-gua bawah air dengan kedalaman puluhan meter atau beli-skiing yaitu bermain ski di lereng gunung setelah dijatuhkan dari ketinggian tertentu oleh helikopter. Satu kali Zaleb bertekad melihat petualangan suaminya dari dekat. Ia ingin membuktikan bahwa hidup dan mati adalah sebuah abstraksi, seperti yang dipercaya Masaai selama ini.

Cerita yang juga merupakan judul buku ini yaitu Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa ada di halaman 188. Mengisahkan empat astronot yang terdampar di planet Merkurius dengan kondisi roket yang mereka tumpangi rusak total sehingga tidak bisa kembali ke bumi. Mereka berhadapan dengan keganasan alam, panas yang begitu menyengat karena jarak dengan matahari dekat,  badai abu hampir menenggelamkan tubuh mereka dan hujan meteor. Sementara air tidak ada.

Dari ketiga cerita di atas yang saya tuliskan, bisa ditebak, cerita dalam buku ini bukanlah absurditas  yang mengawang-ngawang, yang semata berdasarkan imajinasi penulisnya. Cerita –cerita dalam buku ini   terjadi disekitar kita tapi hanya  dialami sebagian kecil orang.  Cerita yang tidak pernah diangkat ke ruang publik sebagai fiksi karena dianggap tak menarik seperti bagaimana peperangan di dunia virtual menjadi candu bagi beberapa orang  dalam cerita berjudul Fatima (hal 41) dan Suatu Saat Kita Ingat Hari Ini (hal 154).

Dan penulis berhasil menuliskannya dengan cukup apik dalam hal deskripsi setting dan detail lainnya, seolah penulis pernah menjadi bagian dari cerita. Ini tentu tak lepas dari riset yang cukup intens dilakukan penulis, seperti yang diakuinya di bagian akhir buku ini. Point ini membuat pembaca seolah-seolah ‘melihat’ dan merasakan cerita itu.  Cerita dengan judul  Labirin yang Melingkar-lingkar dalam Sangkar (hal 110) berhasil membuat saya tercekam dan mengalami ketegangan seperti yang di alami Hattashi, Danno dan Riye dalam petualangan di sebuah terowongan tua. 

Cerita dalam buku ini memang  tidak ditulis berdasar kaidah fiksi standar atau teoritis, yang mengharuskan selalu ada konflik dalam cerita yang dibangun, ada yang menang ada yang kalah. Seperti halnya dalam  kehidupan nyata,  kadang  tak perlu kalah ataupun memenangkan sesuatu.  Atau mungkin sebaliknya, dalam kehidupan nyata bisa  terjadi hal yang aneh dan ajaib, seperti layaknya   sebuah fiksi fantasi yang tak perlu nalar logika.   Keanehan yang tidak bisa di jelaskan secara sains maupun spiritual.

Dan Seperti yang tertulis  di bagian akhir buku ini, mengenai proses kreatif bagaimana cerita-cerita  ini di buat, bahwa yang ingin penulis sampaikan dalam setiap cerita bukanlah untuk menginspirasi tapi mempertanyakan sekelumit pengalaman hidup yang kadang absurd, namun itulah yang membuat pengalaman hidup menjadi berharga.

Ada sedikit kesamaan dengan dua buku penulis sebelumnya yaitu Balada Cing-Cing (2010) dan Winter Dream (2011), Penulis tidak menggunakan metapora atau diksi luar biasa. Kata-kata yang dipilih, lugas dan efektif tapi kepiawaiannya mendeskripsikan setting dan detail membuatnya menarik dan pesan cerita tersampaikan secara tersirat. Dan ini yang membuat jarak antara antara cerita dan pembaca seolah tak ada sekat, cerita terasa natural dan nyata.

Kritik saya untuk buku ini adalah tulisan mengenai mengupas absurditas yang ditulis pada bagian akhir buku, di sini penulis menuliskan maksud absurd dari tiga cerita. Menurut saya tulisan ini tidak perlu disertakan, dengan begitu membaca lebih bebas menginterpretasikan setiap cerita.

Tapi secara keseluruhan, buku ini layak dibaca karena membuat kita merenung, tentang kehidupan yang absurd tapi nyata.