Selasa, April 14, 2015

Slilit Sang Kiai

Judul Buku          : Slilit Sang Kiai
Penulis                 : Emha Ainun Nadjib
Penerbit              : Mizan
Tahun                   : Edisi satu,cetakan 1 , 1991
                                  Edisi dua, cetakan 2, 2014
Hal                          : 310
ISBN                      : 978-979-433-818-6







Slilit Sang Kiai


Tentunya bukan sekedar  alasan (dulunya) best seller hingga setelah lebih dari dua puluh tahun sejak pertama kali diterbitkan, buku ini diterbitkan ulang, tapi kontennya yang masih selaras dengan keadaaan saat ini. Persoalan hidup, beragama, berbangsa dan bernegara. Apa ini berarti sebenarnya kita sebagai masyarakat Indonesia tidak berubah? Tetap berjibaku dengan masalah yang sudah 20 tahun lalu di hadapi? Antara iya dan tidak. Karena pada hakekatnya persoalan kehidupan manusia tidak jauh dari urusan hidup (perut, syahwat), hubungan dengan Tuhannya dan sebagai bagian dari masyarakat sebuah negara.

Buku ini membuat saya ketagihan untuk mengulang membacanya lagi dan lagi. Bukan karena beberapa tulisan membuat saya tersenyum sendiri dengan tafsir satir sang penulis tapi  pesan dan perumpamaannya yang sangat mengena klo istilah sekarang; isinya ‘jleb’ banget. Membaca buah pikiran penulis yang lebih di kenal dengan nama Cak Nun ini pun membuka pikiran untuk keluar dari pengkotakan-pengkotakan isu dan belajar berpikir out of the box.

Seperti juga tulisan berjudul ‘Slilit Sang Kiai’. Slilit adalah istilah bahasa Jawa untuk serabut kecil sisa daging yang menyelip di antara gigi. Gara-gara slilit  seorang Kiai terancam gagal masuk surga karena ia pernah membersihkan slilitnya dengan potongan kayu yang diambilnya dari pagar orang lain tanpa ijin. Bisa di bayangkan potongan kayu sebesar apa untuk membersihkan slilit. Tempat Tuhan memang mutlak seperti halnya batasan benar dan salah (dosa) yang sudah Dia tetapkan. Sayangnya konsep dosa dan kemutlakan Tuhan ini hanya di sadari beberapa gelintir orang dan hanya pada keadaan tertentu. Konsep dosa hampir  tidak menyentuh kebijakan-kebijakan yang di ciptakan manusia walaupun  si manusia tersebut mungkin menyebut kata ‘Tuhan’ ratusan kali setiap harinya.

Namun adakalanya manusia terlalu terjebak dalam kemutlakan ritual. Beragama hanya di pahami dengan cukup menjalankan ritualnya saja.  Padahal, metode duniawi untuk menghindarkan orang-orang dari api neraka ialah dengan menggabungkan diri ke dalam usaha-usaha penyelenggaraan tata sosial ekonomi, tata politik, hukum dan kebudayaan, yang membuat orang tak ‘terpaksa’ mencuri, tidak ‘terkondisi’ untuk korupsi, menindas, berzina, membunuh, menuduh komunis, menyelenggarakan judi kedermawanan, dan memelihara gundik (hal 25).

Islam tetap Islam, tak pernah bergeser sedikit pun dari kebenarannya. Silahkan orang di seluruh muka bumi membenci, mencurigai, atau bahkan meninggalkan Islam. Islam tak punya kepentingan terhadap manusia, manusialah yang berkepentingan terhadapnya (hal 42). Kutifan ini saya ambil dari tulisan berjudul Islam itu Islam. Sedikit banyak ini mengingatkan agar kaum muslim tak perlu cepat terpancing emosinya jika ada pelecehan agama Islam namun bukan berarti diam. Emosi hanya akan memunculkan perlawanan yang justru berlawanan dengan nilai-nilai islam.

Penilaian pornografi menurut seorang muslim belum tentu pornographi bagi sebagian orang muslim lain atau orang non muslim. Mungkin ini yang menjadi sebab UU pornografi tak menemui titik temu. Melalui tulisan Paha itu, Cahaya itu, penulis mencoba memberi kiasan kenapa perlu ada batasan mana terhadap keindahan, hingga ada yang di katagorikan porno.

Pornografi juga terjadi ketika paha itu di bukakan pada lelaki yang bukan suaminya, baik di jalan umum, di depan kamera film, maupun di ranjang prostitusi.
Mengapa hanya wanita yang sebaiknya tidak memamerkan pahanya...
Karena wanita mewakili keindahan Tuhan, sedangkan lelaki hanya bertugas menerjemahkan dan menafsirkan keindahan itu. (hal 143)

Buku ini merupakan kumpulan tulisan kolom, beberapa pernah di muat di media massa.  Di bagi menjadi tiga sub judul dengan total lebih dari 60 tulisan dengan beragam tema. satu tulisan dengan tulisan lain tidak berhubungan jadi bisa di baca tanpa berurutan.

Bagi saya membaca buku ini seperti bercermin pada realitas kekinian yang terjadi pada bangsa ini.