Minggu, September 28, 2014

Upacara Bakar Rambut

Judul Buku          : Upacara Bakar Rambut
Penulis                 : Dian Hartati
Penerbit              : Medium
Tahun                   : Desember, 2013
Hal                          : 95
ISBN                      : 978-602-8144-209










Upacara Bakar Rambut

Ini bukan review karena saya bukan orang sastra bingung sebenarnya cara meresensi buku puisi, katakanlah ini semacam pengalaman membaca buku puisi bagi saya sebagai orang awam.

Tahun 2002  puisi sempat ngehits (istilah jaman sekarang) di kalangan  pelajar , yaitu setelah filmnya Ada Apa Dengan Cinta, karena ada adegan  di film ini, tokoh utama, Cinta, yang diperankan Dian Sastro mengutip puisinya Chairil Anwar.

Setelah itu puisi kembali pada habitatnya, hanya di baca, di nikmati dan (bisa) di pahami sebagian kecil orang. Padahal membaca puisi atau membacakan puisi di beberapa negara sudah menjadi budaya seperti halnya membaca/membacakan buku fiksi.

Ini tak lepas dari kesan jika puisi itu berbahasa dewa, baik pilihan kata maupun metapornya. Susah dimengerti maksudnya. Padahal tidak semua puisi seperti itu.

Seperti puisi Dian Hartati dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Upacara Bakar Rambut.

hari sudah berubah / kelam dan kelabu / tak ada warna lain selain air mata /
sekali waktu aku menyapu halaman / mengingat wajahmu / di lain hari aku mengelap perabot / hanya matamu yang berkejaran
hampir dua tahun, jo / kisahan begitu singkat / kenangan akan terus / memanjang /berjumpalitan dalam pikiran
belum genap dua belas bulan, jo / asmara tak pernah lengkap / semuanya harus di tinggalkan.
Puisi di atas dikutip dari puisi berjudul Rumah Penuh Kenangan, Jo (hal 33).

Puisi-puisi dalam buku ini terasa intens karena seperti di tulis dalam kata pengantarnya puisi yang tertulis di sini adalah kisah si penulis sendiri mengenai kelahiran, pernikahan dan kepergian.
Membaca puisi – puisi dala buku ini  seperti membaca sebuah cerita, seperti dalam puisi berjudul Prosesi Pernikahan (hal 27)
...
Pukul sembilan tepat / penghulu undur diri / semua sepakat / kami telah diikat /
Wahai ayah / tak ada lagi kau / di samping tubuhku / aku mengayuh sendiri / aku harus sendiri

Wahai bunda, / tak ada lagi kau / ketika bangun nanti / aku yang menyiapkan segala / air mengepul / dapur harus berasap
pukul

Pilihan kata puisi-puisi dalam buku ini, kata yang kerap digunakan dalam percakapan keseharian, baku tapi tidak kaku.

Puisi yang menarik lain untuk saya adalah puisi berjudul Rasa Bumbu Kuning (hal 66), beragam bumbu yang digunakan untuk memasak ikan di buat metafor yang mendeskripsikan keadaan dan  suasana hati, berikut saya kutip dua macam rempah;
...
-kemiri-
Bagai santan yang jernih airnya
Keu melupakan gurih peristiwa
Helai demi helai rambut’abunya di tiup ke laut
Di tengah sana,
Dua tahun lalu,
 Perkawinan berlangsung megah
Ikan-ikan menari di kuali
Bersenandung gempita
-merica-
Anak-anak tumbuh besar
Kata-kata mereka sudah pedas
Melakukan hal sesuka
Pulang tak kenal waktu
Berangkat lupa sarapan
 Anak-anak penuhi janji
Menjaga sikap dan bicara
Langkah mereka sedikit sesat
Tak mengapa
Asal kembali ke pangkuan
Tak melupa makanan di meja
....


Karya-karya puisi Dian Hartati selain banyak berupa antologi puisi, juga sering menghiasai halaman koran yang menyediakan rubrik puisi seperti Kompas, Sindo, Pikiran Rakyat, Tempo dan banyak koran lain. Tak heran kepiawaiannya memilih dan menyusun kata dalam puisi terasa bernas dan intens terasa dalam buku puisi ini. Tentang penulis bisa juga dilihat di sini 

Saya kira puisi-puisi semacam inilah yang bisa membumi, mudah dipahami dan terasa sentuhan personalnya. 

Sayangnya masyarakat Indonesia tak dikenalkan budaya membaca puisi, saat sekolah hanya diminta menghapal siapa pujangga puisi angkatan sekian-sekian dan judul puisinya tanpa 'membaca'nya.

4 komentar:

Ima Rochmawati mengatakan...

Indah. Dian keren, konsisten. Makasih udah ngeresensi, jadi pengen baca buku puisinya

Ety Abdoel mengatakan...

Memahami puisi kadang susah-susah gampang. Maklum, saya tuh suka susah memahami puisi berbahasa tinggi. Puisi di atas bahasanya mudah dipahami namun tetap terasa puitis

Unknown mengatakan...

ummm puisisnya rada sedih kurasa :(

Tira Soekardi mengatakan...

memang puisi yang terlau banyak diksinya membuat orang gagal paham, lebih enak yang sederhana dan mudah dipahami oleh orang banyak dan bisa membuat orang suka dengan puisi

Posting Komentar