Judul buku : Orangtuanya
Manusia
Penulis :
Munif Chatib
Penerbit
: Kaifa (grup Mizan)
Tahun :
2012
Hal
: 212 halaman
Harga :
65.000
review by Rina
Susanti
Secara sadar atau tidak banyak
orang tua melabeli anaknya dengan label negatif hanya karena satu dua kali
kesalahan yang dilakukan anak. Nakal karena merebut mainan temannya, nakal
karena tak mau mengalah dengan adiknya , pemalas hanya karena tidak betah
berlama-lama membaca buku, malas karena sulit saat bangun pagi. Dan sederet
lebel negatif lain. Sebaliknya, orang tua kerap lupa dengan kemajuan-kemajuan
kecil yang sudah dicapai seorang anak. Kemajuan yang sifatnya afektif seperti menolong teman, memberi makan
kucing atau tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Mudahnya pelabelan ini tidak bisa
dilepaskan dari paradigma lama bahwa
anak pintar dan hebat identik dengan kepintarannya membaca, menulis dan
berhitung. Kepandaian dan kehebatan yang bisa diukur dengan angka alias
bersifat kognitif. Angka-angka yang sebenarnya tidak diperlukan saat anak
terjun dalam kehidupan sosial untuk mencapai kesuksesan dalam hidup.
Paradigma in dimulai saat tes IQ
(Intelligence Quotient) untuk pertama kalinya di gagas oleh Alfred Binet pada
tahun 1905, sebuah tes yang digunakan untuk rekrutmen tentara pada masa perang
dunia I yang kemudian digunakan pada masa Revolusi Industri sebagai tes
penerimaan karyawan. Dalam perkembangannya tes ini digunakan di sekolah-sekolah dan
institusi pendidikan sebagai
penentu kecerdasan seorang anak. Tes yang secara tidak langsung
mengkatagorikan anak pintar dan anak gagal berdasarkan angka yang didapat.
Padahal tes IQ ini hanya mengukur dua kemampuan yaitu kemampuan verbal dan
matematis.
Ilmu psikologi berkembang
dan memunculkan beragam teori kecerdasan.
Tahun 1983 Howard Gardner
memunculkan teori kecerdasan majemuk yang meliputi kecerdasan linguistic, matematis-logis, visual-spasial,
musical, kinestesis, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (hal 88).
Tahun 1995 Dr. Daniel Goleman memunculkan teori emotional quotient yaitu
kecerdasan seseorang mengatur emosinya dan
Paul G. Stoltz, Ph. D dengan teori adversity
quotient yaitu kecerdasan mengatasi kesulitan. Terakhir kecerdasan spiritual atau spiritual quotient yang di gagas Ian
Marshall dan Danah Zohar.
Teori kecerdasan yang membuktikan bahwa
kecerdasan seorang anak tidak bisa diukur dengan angka dan menegaskan jika semua anak adalah hebat. Yang kemudian diperlukan adalah kepandaian
dan keuletan setiap orang tua menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan
seorang anak .
Lalu kepandaian seperti apa yang
diperlukan orang tua untuk menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan
seorang anak yang diperlukan kelak untuk kehidupannya kelak? Seorang anak yang
tumbuh menjadi pribadi berkarakter yang religius, jujur, adil, mandiri, cinta
damai, peduli lingkungan dan sederat karakter baik lainnya. Tentunya ilmu
pengetahuan caranya menjadi orang tua. Sayangnya hal ini tidak disadari banyak
orang tua. Kebanyakan orang tua nekat menjadi orang tua, hanya berbekal
pengalaman bagaimana mereka dulu di didik orang tuanya, begitu seterusnya.
Padahal ilmu dan teknologi berkembang, beberapa pola asuh lama tidak lagi cukup
mempan untuk anak menghadapi tantangan zaman. Ketika teknologi informasi membuka sekat bagi anak untuk mengakses
semua hal termasuk hal yang seharusnya dilarang untuk usianya. Salah satunya
pornografi yang memberikan
dampak negatif lebih berbahaya daripada narkoba bagi seorang anak (hal 196).
Tak ada sekolah untuk menjadi orang tua,
tapi begitu banyak buku dan artikel yang ditulis para ahli untuk menjadi orang tua salah satunya buku Orangtuanya
Manusia. Buku ketiga
dari Trilogi yang ditulis Munif Chatib, seorang praktisi Parenting, setelah
Sekolahnya Manusia (2010) dan Gurunya Manusia (2011) . Judul buku yang menarik dan provokatif
sekaligus membuat menelaah
kembali peran orang tua dalam membentuk
karakter anak. Kutipan di halaman 145 ini bisa dijadikan cermin yang cocok;
pandai, namun tidak punya kepedulian; cerdas, namun tidak bermanfaat buat orang
banyak; berpendidikan tinggi, namun tidak punya rasa keadilan. Tak ubahnya
seperti robot bukan?
Hal berikut ini yang membedakan orangtuanya
manusia dengan orangtua yang secara tidak langsung menjadikan anaknya robot;
Mendidik Anak sesuai
Fitrah
Fitrah Ilahiah atau sifat bawaan
dari Sang Pecipta, seorang anak cenderung pada kebaikan jika diibaratkan
secarik kertas mereka adalah kertas putih. Lingkunganlah yang kemudian
memberinya warna dan kecenderungan pada
keburukan. Lingkungan di sini termasuk pengaruh pendidikan dan pola asuh orang
tua.
Dalam buku Orangtuanya Manusia
disebutkan ada tujuh sumber peringai
buruk anak yang menyebabkannya
berperilaku buruk yaitu; Melupakan Tuhan, Bangga riya’ dan sombong,
tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh kesah, melampaui batas,
tergesa-gesa dan suka membantah. Ketujuh hal di atas bisa dijadikan kerangka acuan orang tua bagaimana mendidik dan membimbing anak agar terhindar dari perilaku buruk tersebut.
Lingkungan keluarga dan orang tua harus berperan
dalam membentuk karakter anak jika tidak anak akan mudah terpengaruh oleh
lingkungan lain seperti, teman, pergaulan dan media informasi.
Pembentukan karakter positif anak bisa dimulai
dari memberikan apresiasi
terhadap kemajuan anak sekecil apapun termasuk pencapaian yang bersifat
afektif. Apresiasi positif akan menumbuhkan rasa percaya
diri, empati dan nilai sebuah
penghargaan.
Menyadari Semua Anak
adalah Bintang
Semua anak hebat, pencipta yang
Maha Sempurna yang tidak pernah menciptakan produk
gagal. Seorang anak yang dalam kaca mata fisik atau mental di cacat pasti
adalah sebuah bintang yang bisa menyinari lingkungannya. Pasti ada kesempurnaan
yang dititipkan Tuhan padanya. Banyak kisah bagaimana anak yang dinilai tak
sempurna dalam kaca mata manusia memiliki keahlian yang membuatnyanya menjadi
Bintang.
Yang pertama harus dimiliki orang tua untuk
bisa melihat bakat seorang anak adalah kepekaan dalam melihat kemampuan anak
lalu sikap konsisten dalam menilai kemampuan anak dan terakhir adalah membangun
konsep diri pada adak bahwa dirinya bisa. Aku bisa!
Menjadi Guru Terbaik
untuk Anak
Gaya belajar setiap anak berbeda, tergantung
kecenderungan kecerdasannya. Jika anak cerdas linguistic dia akan betah belajar
denagn cara membaca. Anak dengan kecerdasan naturalis lebih suka belajar dengan
cara mengamati langsung fenomena alam. Anak dengan kecerdasan musik lebih suka
belajar sambil mendengarkan musik dan seterusnya.
Orang tua dituntut paham dengan gaya belajar
anak dan bisa mengukur kemampuan anak. Walaupun tidak semua, beberapa orang tua
kerap memaksa anak mempelajari banyak hal dengan harapan agar anak pintar.
Orang tua tidak mau tahu apakah anak berminat dan mampu menyerap semuanya.
Padahal efek pemaksaan ini bisa menyebabkan anak mengalami downshifting yaitu penyusutan kapasitas saraf untuk berpikir
rasional. Anak menjadi tidak termotivasi untuk belajar dan stress.
Sikapi banyaknya pekerjaan rumah yang
dibebankan pihak sekolah dengan bijak. Jika anak tak mampu jangan sungkan
mendiskusikan dengan pihak guru dan sekolah. Disinilah pentingnya memilih
sekolah yang tepat. Sekolah yang mempunyai visi dan misi yang sama terhadap
anak kita kelak.
Di rumah
dan sekolah anak-anak kita dibentuk, menjadi apa mereka kelak. Oramg tua dan
guru sama dituntut memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi orangtuanya manusia.
(rs)
1 komentar:
Sangat bagus dalam penerapan pemahaman kehidupan anak kita
Posting Komentar