Judul Buku : And The Mountains Echoed
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qonita (grup Mizan)
Tahun : Juli 2013
Hal : 512
Gema Pegunungan
Resensor : Rina
Susanti
And The Mountains Echoed adalah novel ketiga Khaled Hossaeni, penulis
berdarah Afganistan yang kini bermukim
di Norther Carolina, Amerika. Dua
novel sebelumnya The Kitte Runner dan A
Thousand Splendid Suns adalah novel best
seller Internasional dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Novel ini berkisah tentang kakak
beradik Abdullah dan Pari. Sejak Ibu mereka meninggal karena pendarahan ketika
melahirkan Pari dan Ayah menikah lagi dengan Parwana, Abdullah bukan sekedar
kakak bagi Pari tapi sekaligus Ayah dan
Ibu. Abdullah yang menggantikan popok Pari, menatih, menimang, membantu
mengambil langkah pertama dan memahami kata pertama yang diucapkan Pari. Pengabdian
yang dilakukan Abdullah dengan keluguan dan kepolosannya terlebih karena rasa
kasih sayang terhadap Pari yang begitu besar. Bagi Abdullah, Pari adalah
semestanya.
Kemiskinan memisahkan mereka, Ayah
menjual Pari pada sepasang suami istri kaya di Kabul melalui Nabi, yang tak
lain adalah adik dari Ibu tiri mereka. Abdullah menanggung luka tak terperi
karena kehilangan Pari. Luka yang ditanggung sepanjang ingatannya. Abdullah mengabadikan Pari dengan menamai putrinya Pari.
Sebaliknya, Pari yang saat itu baru berumur 3 tahun, dengan mudah melupakan
ingatannya tentang Abdullah, Ayah dan kehidupan di desa Shadbagh yang miskin
dan tandus. (hal 67)
Bagi Pari kehidupannya di mulai
di sebuah rumah besar di Kabul, Ayahnya seorang kaya yang berpembawaan serius,
dingin dan memiliki hobi menggambar
bernama Suleiman Wahdati, sementara Ibunya Nila Wahdati, perempuan keturunan
Prancis yang sangat cantik. Saat usia
Pari 6 tahun, Suleiman Wahdati terserang
stroke dan Nila Wahdati memutuskan membawa Pari menetap di Paris, Prancis.
Seiring waktu, Pari mulai
menyadari betapa banyak perbedaan dirinya dengan orang yang selama ini
dianggapnya sebagai Ibu dan Ayahnya, baik secara fisik maupun karakter bersamaan
dengan itu pula ia mulai menyadari jejak kekosongan di hati dan pikirannya yang
tidak ia pahami mengenai kehidupannya dulu di Afganistan. Keping kenangan yang
selalu ia pertanyakan namun selalu disembunyikan Nila Wahdati.
Melalui surat yang titipkan Nabi
pada Markos, seorang dokter relawan di
Kabul Afganistan, misteri kehidupan Pari mulai terbuka. Pari mengunjungi
Afganistan dan dari sana ia menjadi tahu keberadaan Abdullah yang kini tinggal
di Amerika dan memiliki kedai makanan.
Mungkin ini yang dikatakan bahwa
ketulusan cinta mampu menggemakan seluruh gunung untuk memanggil belahan
jiwanya. Sayang saat mereka bertemu, Abdullah telah kehilangan seluruh
ingatannya.
Seperti dua novel sebelumnya, novel ini berlatar belakang kehidupan di Afganistan yang keras. Alamnya
yang tak mudah ditaklukan, konflik perebutan kekuasan, narkotika dan budayanya
yang paternalistik. Namun novel ini
lebih menarik karena penokohan, sudut pandang, alur yang terjalin komplek dan
kedalaman deskripsi yang baik dan lugas. Penulis menerapkan sudut pandang yang berbeda pada
beberapa tokoh, begitu pun alur.
Semua tokoh dalam cerita ini,
walaupun bukan tokoh utama sehadirannya menjadi penting karena memiliki peran
yang tertaut dengan keseluruhan latar belakang dan alur cerita. Seperti
kehadiran tokoh Timur dan Indris, anak-anak Afganistan kaya raya yang mengungsi
ke Amrika ketika perang pecah. Melalui sudut pandang mereka penulis mengkritisi
sikap para pengungsi yang pulang kampung
hanya untuk merebut kembali sepetak tanah milik mereka dulu dan menonton
sisa-sisa kekejam perang melalui foto dan video kemudian berjanji untuk
memberikan bantuan namun kabarnya tidak pernah terdengar lagi. (hal 176)
Lewat tokoh Adel, penulis membuka
fakta bahwa Afganistan tak bisa lepas dari narkotika dengan selubung jihad.
Tokoh Nila Wahdati dengan puisi-puisinya yang kontroversial mewakili para
perempuan Afganistan yang menolak budaya paternalistik atas nama agama.
Yang menarik adalah kehadiran
tokoh Thalia, yang jika dilihat dari keselurahan cerita tidak memiliki peran
yang tertaut dengan jalan cerita.
Kehadiran Thalia dengan kecatatan wajah dan sikap menerimanya bertolak
belakang dengan tokoh Nila wahdati. Saya pikir ini cara penulis menyampaikan
kritik sosialnya bahwa kebebasan tidak absolut. Bahwa setiap wanita memiliki
persepsi berbeda mengenai makna kebebasan. (hal 352)
Tak berlebihan jika New York
Times berkomentar bahwa Khaled Hosseini memiliki kekuatan sebagai juru dongeng.
(rs)
2 komentar:
Huuaaaa.... Aku pun bgt baca novel ni mak. Baca resensi ini jd makin ngiler deh.. Khaled Hosseini mang top abis . bis ni lgs cuzz ke toko buku.. :)
bikin haru bukunya .... dan mengetuk sisi kemanusian...
Posting Komentar