Judul buku :
Pulang
Penulis : Laela S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia)
Tahun : Februari 2013 (cetakan ke
tiga)*
Hal : 458 halaman
Mengeja Indonesia pada
novel Pulang
Resensor : Rina
Susanti
Pulang adalah sebuah novel dengan
latar belakang tragedi politik 30 september 1965, Prancis Mei 1968, dan
reformasi Mei 1998. Nuansa drama keluarga dalam novel ini sangat kental dan
terasa hingga akhir cerita.
Cerita berawal ketika Dimas Suryo
ditugaskan menjadi wakil di Konferensi Wartawan
di Santiago Cile bersama rekannya Nugroho. Rekan kerjanya yang lain Risjaf di kirim ke Havana untuk menghadiri Konferensi
Organisasi Asia Afrika. Ketiganya janji bertemu di Havana sebelum melanjutkan
perjalanan ke Peking bertemu rekan yang lain, bernama Tjai, untuk menghadiri
Konferensi Wartawan Asia Afrika.
Belum sempat Dimas Suryo dan
kawan-kawan menginjakkan kakinya ke
Havana, tersiar kabar bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap
dewan Jenderal di Tanah Air. Disusul menangkapan besar-besaran terhadap anggota
dan simpatisan Partai Komunis Indonesia termasuk
teman, saudara dan keluarganya. Dimas Suryo dan kawan-kawannya termasuk dalam
daftar orang yang diburu bukan karena terlibat dalam peristiwa 30 september tapi
karena Harian Berita Nusantara, tempat mereka bekerja, dinilai kiri. Tak lama
berselang datang sebuah kabar jika Hananto, Dewan Redaksi Harian Berita Nusantara ditangkap.
Melalui surat yang dikirim Aji
Suryo dan putri sulung Hananto, Dimas dan kawan-kawan menjadi tahu
situasi di tanah air yang sebenarnya. Situasi yang membuat mereka tidak bisa
pulang .
Tjai berhasil memboyong
keluarganya ke Prancis, sedangkan Nugroho harus berlapang dada menerima gugatan
cerai dari istrinya di tanah air. Dimas dan Risjaf yang masih bujangan akhirnya
menemukan jodohnya di Prancis. Dimas menikah dengan perempuan Prancis Vivienne Deveraux.
Melanjutkan hidup di negeri orang
tanpa kejelasan kapan bisa pulang ke
Tanah Air bukan hal mudah. Sulitnya mendapat pekerjaan yang cocok, gerak-gerak
mereka yang selalu diawasi karena mereka tetap menyandang sebutan eks tapol
walaupun jauh dari tanah air.Terlebih bagi Dimas, dimana
sebenarnya hatinya selalu tersisa untuk seorang perempuan di tanah air, Surti,
istri Hananto yang tak lain adalah bekas pacarnya.
Namun
Prancis tetaplah tanah yang asing, bukan tanah milik sendiri,
seperti yang dirasakan Dimas Suryo. Mengapa aku
tetap merasa ada sepotong dari diriku yang tertinggal di tanah air? (hal
87). Dimas Suryo selalu berharap bisa pulang dan kelak bersemayam di Karet,
seperti penulis puisi Chairil Anwar.
Di tahun ke 17
tinggal di Prancis, Dimas Suryo dan kawan-kawan mendirikan Restoran
Tanah air, restoran yang khusus menjual makanan khas Indonesia. Berlahan tapi
pasti Kehadiran Restoran Tanah Air terkenal bukan hanya di Prancis tapi sampai
ke Indonesia.
Pulang memang sekedar novel fiksi
namun mendeskripsikan dengan sangat baik
situasi saat dan pasca tragedi politik berlangsung
serta pergulatan emosi dan batin orang – orang yang terlibat di dalamnya. Orang-orang
tak berdosa yang menjadi korban. Seperti
Dimas Suryo, yang bukan anggota
partai atau simpatisan. Dia hanya seorang yang mengagumi teori Karl Max namun
melihat banyak kelemahan dalam teori itu jika diterapkan dalam pemerintahan.
Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukkan
sebuah keyakinan? Lagipula, apakah mungkin keyakinan kita itu sesuatu yang
tunggal? Sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham ini harus
ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa rasa kritis? (hal 33)
Tak hanya itu keluarga yang tak
tahu menahu ikut terseret dan anak-anak
yang harus menyaksikan bagaimana orang tua dan keluarga mereka di intimidasi
dan di deskriminasi selama puluhan tahun. Anak – anak yang tumbuh dalam
ketakutan dan memberontak terhadap keadaan dengan cara melawan atau memilih
menutup diri dan menyembunyikan identitas dirinya. Bahkan anak-anak yang lahir jauh setelah tragedi politik itu pun
mewariskan dan mendapatkan diskriminasi.
Seperti yang dialami Lintang Utara, buah pernikahan Dimas Suryo dengan
perempuan Prancis, Vivienne Deveraux. Padahal
Indonesia bagi Lintang hanya sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan
kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak
tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi
malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran (hal 137)
Namun tanpa di duga, tugas
skripsi Lintang mengenai dokumenter politik Indonesia memaksanya mengunjungi Indonesia tepat saat suhu Jakarta memanas. Reformasi yang dilakukan ribuan mahasiswa dan
tokoh masyarakat yang menginginkan perubahan, Mei 1998.
Novel ini dibumbui drama
percintaan, cinta segitiga, pengkhiatan dan persahabatan. Dengan kepiawaian
Leila S. Chudori dalam meramu dan
mengolah kata yang sudah tidak diragukan lagi, membaca buku ini seperti menonton karena deskripsi yang cukup detail dengan bahasa yang mengalir dan
bernas. Seperti pengakuannya novel ini
dibuat dengan riset dan wawancara terhadap orang yang terlibat langsung pada
peristiwa jadi tak heran walaupun
sebatas fiksi terasa nyata.
Membaca Pulang sama dengan
mengeja luka sejarah bangsa ini. Luka yang mungkin tidak bisa
disembuhkan namun menjadi pembelajaran bahwa perbedaan pemikiran tak seharusnya
menimbulkan pertumpahan darah.(rs)
*cetakan pertama Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar