Minggu, Januari 11, 2015

Amba #ekspektasi

Judul Buku ; Amba
Penulis        : Laksmi Pamuntjak
Penerbit       : Gramedia
Halaman      : 494
ISBN           : 978-979-22-8879-7
Terbit           : September 2012











Prolog
Dua tahun lalu, saat pertama melihat novel ini di tokbuk di rak best seller langsung membuat saya tertegun. Siapa Laksi Pamunjak? Rasanya saya baru mendengar namanya? Akh, tentu saja saya tidak tahu kalau di hitung-hitung sudah hampir 5 tahun saya ‘puasa’ baca novel tepatnya sejak menikah dan memiliki anak, prioritas buku parenting. Padahal sebelumnya saya addict baca novel.

Membaca endorsment buku ini makin membuat penasaran sekaligus bertekad harus beli harus baca.

Amba adalah novel terbaik setelah tetralogi Bumi Manusia . JB Kristanto



Wow, benarkah? Saya termasuk penyuka novel-novel PAT dan mengkoleksinya sejak kuliah.

Sebulan setelah itu, saya membeli novel ini dan selesai membacanya dalam waktu tak sampai seminggu. Niat meresensinya ciut mengingat ketebalan (494 hal, ukurna buku besar pula), diksi dan setting dalam novel ini yang membuatnya memiliki kualitas tersendiri.

Jadi yang saya tuliskan di sini bukan resensi tapi opini bebas

Halaman pertama novel ini sudah cukup membuat saya merinding.   Di pulau Buru, laut seperti seorang ibu; dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau (hal 15).

Buru saksi sejarah bagaimana orang-orang menanti ketidakpastian antara hidup dan mati.

Yap, novel ini berlatar belakang tragedi 1965, tentang sepasang kekasih Amba dan Bhisma. Yang membuat novel ini menarik, best seller dan mendapat banyak pujian jelas bukan sekedar kisah cintanya tapi sejarah yang menjadi setting dan latar belakang kedua tokoh ini.

Fiksi yang di dukung riset panjang, dari mewawancarai tapol eks Buru, buku yang di tulis eks Buru sampai kunjungan penulis ke Buru.  Walaupun tentu saja tidak bisa di jadikan sandaran sejarah tapi buku ini membuka sisi kemanusian dari tragedi 65 kedua pihak yang bertingkai.

Bukan tentang siapa yang salah dan salah siapa. Tepat seperti kalimat yang saya kutif dari halaman 44; Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati.

Seperti halnya Bhisma, yang terseret ke Buru.

Bhisma berasal dari keluarga terpandang secara ekonomi, Ayahnya seorang pemilik penerbitan. Tak heran jika keluarganya memiliki kemampuan menyekolahkannya ke luar negeri. Ia menghabiskan masa 13 tahun di dua kotadi Eropa, Lieden (belanda) dan  Liepzig (Jerman Timur), sampai akhirnya meraih gelar dokter. Kedekatan Bhisma dan Gerard, pemuda Ambon. (catatan; Belanda menyediakan kamp. Penampungan bagi keluarga Ambon yang setia/memihak pada Belanda saat jaman penjajahan, namun di sana mereka menjadi warga kelas 2), mengenalkan Bhisma pada ide komunisme dan Rose Luxemburg* melalui Buku dan perkenalannya ke kamp. Penampungan bekas KNIL.

Bersama Gerard Bhisma mengikuti Festival Pemuda Sedunia di BerlinTimur. Di sanalah Bhisma berkenalan dengan pemuda dan seniman-seniman Indonesia pro komunis. Baik mereka yang sengaja datang langsung dari tanah air untuk menghadiri festival ini maupun pemuda Indonesia yang bersekolah di sana.

Pandangan politik Bhisma dan kegamangannya di sajikan dalam bentuk penceritaan (semacam curhat) kepada Amba kekasihnya, seorang mahasiswa jurusan Bahasa Inggris UGM yang lugu secara politik, di besarkan dalam tradisi Jawa yang berkarakter sederhana.

“Kasihan. Kasihan kawan tadi. Ia tidak tahu, mungkin tidak mau tahu, di Jerman, di seluruh Eropa Timur, Stalin benar-benar sudah mati, dikuburkan bersama seluruh fatwanya. Aku tahu waktu itu  teman-temanku merasa seperti ada gunung besar yang diangkat dari batok kepala Jerman. Sejak itu tidak mudah bagi pejabat kebudayaan Partai mengawasi apakah pada seniman mengikuti petunjuk atau tidak. Sudah terlalu banyak korban. Kebohongan ini mencapekkan.” Bhisma pada Amba (hal 239).

Namun pada satu titik  Bhisma merasa harus memilih walaupun sebelumnya ia sempat mengatakan pada Amba  bahwa dirinya telah mengenal batas.

“Dengar, Amba. Seorang dokter akan selalu berada di satu saat di mana pilihannya bisa menentukan hidup atau mati. Tiap saat bercabang, tiap saat berubah. Aku bukan seorang yang mampu berkelahi di jalan atau menembak dari barikade, dan mungkin pada akhirnya aku tidak berdaya apa-apa dan pada akhirnya kalah. Tetapi jika aku tidak berbuat, aku tidak akan berarti apa-apa, seperti seorang dokter yang tidak mencoba menyembuhkan betapapun sulitnya keadaan. Dan jika aku berbuat dan kalah, setidaknya kekalahan itu tidak kehilangan nilai. Dua tahun lalu aku pulang, menyadari sepenuhnya bahwa rumahku menyembunyikan air mata; ia sebuah negeri yang sakit, yang miskin, yang tak bisa berjanji. Sekarang negeri ini di tentukan algojo-algojo dan aku tidak mau itu terjadi berkali-kali.” (hal 260).

Bumbu novel ini adalah drama kisah cinta antara Bhisma dan Amba.

Bhisma berpisah dengan Amba saat terjadi penyerbuan ke Universitas Res Publica Yogyakarta 19 Oktober 1965.

Setelah  puluhan   tahun berlalu dari perpisahan itu, kabar kematian Bhisma sampai pada Amba. Dengan tekad kuat Amba ke Buru, ingin melihat secara langsung kuburan Bhisma di sana. Tak diduga Bhisma meninggalkan dua puluh pucuk surah untuknya. Surat-surat yang menceritakan pengalaman selama Bhisma di buru dan perasaannya terhadap Amba.

Melalui surat-surat inilah membaca bisa mengetahu seperti apa kehidupan tapol di buru.

Secara setting sejarah dan diksi, ini novel gua banget! Yap, saya suka novel-novel berlatar belakang sejarah tapi yang bukan terlalu banyak silsilah sejarahnya, seperti novel dengan setting raja-raja tanah air, agak ribet (nggak heran saya ga pernah bisa menyelesaikan novel Arus Baliknya PAT hehe).

Bahasa yang digunakan penulis puitis tapi jangan bayangkan puisi bersajak-sajak ria ya J. Puitis dalam arti diksi dan susunan kalimatnya enak di baca terutama dalam surat menyurat. Penokohan karakternya kuat.

Beberapa tempelan sejarah yang membuat mengerutkan kening karena (saya) tidak tahu seperti siapa Rose Luxemburg*, apa dan bagaimana festival pemuda sedunia, jadi mau tidak mau harus sedikit googling tapi ini membuat pengetahuan baru untuk saya. Kisah pewayangan sedikit diangkat terkait latar belakang nama Amba. 

Yang ga gue banget dari novel ini adalah adegan dewasanya, ya memang sekedar bumbu dan saya bukan termasuk orang yang mudah menjudge sebuah buku buruk karena ada bumbu semacam itu.
Yang pasti perlu kedewasaan untuk membaca novel ini.

Recommed banget untuk di baca pecinta novel sastra Indonesia.


Mengenai Laksmi Pamuntjak, Jurnalis Jakarta Post, puluhan tulisannya mengenai politik, kuliner, musik dan sastra sudah menghiasi majalah dan koran-koran nasional. Sebelumnya ia menerbitkan buku The Jakarta Good Food Guide. Novel terbarunya yang terbit akhir tahun lalu berjudul Arjuna dan Lidahnya.

3 komentar:

Nathalia DP mengatakan...

jd sesuai ekspektasi yah?
saya blum pernah baca karya laksmi pamuntjak...

Anonim mengatakan...

Aku tahu Laksmi Pamuntjak justru dari Aruna & Lidahnya, dan melewatkan ini. Di novel terbarunya itu pun bagus mba. Kemampuan menulisnya keliatan banget kalo udah pro. Dan kalo mba ngga menyesal dengan membaca novel ini, kayaknya untuk novel terbarunya itu mba juga akan suka :)
Oia, salam kenal ;)

Rina Susanti mengatakan...

sejak terbit mupeng buku itu mba tapi budget belum nyampe nih kebanyakan buku yang diinginkan sementara budget tetap hahaha. salam kenal juga mba

Posting Komentar