Penulis : Irmayanti dan Gita Lovusa
Penerbit :Lingkar Pena Publishing
Tahun : Desember 2010
Hal : 195
Harga : Rp 37.000.-
review by rina s
Profesi guru sebagai pendidik lebih banyak dipahami sebagai pengajar. Keberhasilannya ditentukan dengan besarnya nilai ujian dan seberapa banyak siswa-siswinya yang lulus ujian nasional. Tak heran jika akhirnya ada guru yang mudah memberikan label pada siswa-siswinya dengan istilah,’bodoh’, tidak berbakat’, tidak punya kemampuan’, nakal dsb.Padahal tidak semua kecerdasan bisa dinilai dengan angka. Salah satunya kecerdasan interpersonal.
Namun tidak semua, masih ada guru yang mendidik dengan hati salah satunya bu guru Irma. Berawal dari catatan keseharian bu guru Irma yang harus menghadapi beragam permasalahan khas remaja siswa-siswi sekolah menengah atas di tempat ia mengajar yang ditulis di blog pribadinya (nengirma.multiply.com) kemudian di bukukan dengan tambahan berupa bahasan psikologis oleh Gita Lovusa, pada setiap catatan.
Buku ini memuat 21 catatan bu guru Irma. Doni, seorang siswa kelas yang kerap kali mengamuk dalam kelas tapi di lain waktu bisa sangat rajin dan penuh perhatian. Lalu ada kisah Rahmi yang suka menyakiti dirinya sendiri, seorang siswi yang mengaku telah ditiduri pacarnya, usaha keras bu guru Irma agar pelajaran yang dibawakannya menarik, kegelisahan bu guru Irma perihal hukuman pelanggaran yang kerap dikaitkan dengan hukuman fisik, kurikulum dan evaluasi (UN) yang hanya mengejar nilai dan ketika idealismenya sebagai pendidik tidak sependapat dengan kebanyakan guru lain .
Tuturannya yang bersahaja dan usaha bu guru Irma untuk memahami, belajar dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialaminya bersama siswa/iswinya, membuat saya tidak bisa berhenti membaca. Saya larut dalam setiap kejadian yang di tulis bu guru Irma sekaligus belajar dan menyelami hikmahnya. Pembahasan psikologis dari Gita Lovusa cukup membantu pembaca khususnya guru dan orang tua, lebih memahami setiap persoalan remaja dan mencoba solusi yang ditawarkan berdasarkan analisis psikologis. Sebut saja misalnya kasus Rahmi. Alasan Rahmi suka menyakiti dirinya karena orang-orang terdekatnya, Ayah, ibu dan kakaknya yang harusnya menyayangi dan melindunginya tinggal berpencar dan tidak memperdulikannya. Yang dialami Rahmi satu dari sekian penyimpangan yang terjadi di masa remaja yang merupakan masa transisi dari kecil menjadi dewasa. Namun penyimpangan itu bisa di cegah jika kita mau mengenal lebih dekat dan berusaha memahami individu remaja (hal 20).
Namun ada pembahasan psikologis yang menurut saya terlalu teoritis dan bahasannya terlalu luas. Seperti bahasan psikologis dari catatan bu guru Irma yang berjudul Don’t Talk! Communicate! Pada catatan ini bu guru Irma menyadari siswa-siswinya tidak mempunyai cukup keberanian untuk mengemukan pendapat. Beraninya kalau keroyokan atau rame-rame. Bahasan teori psikologi komunikasi yang memang terkait dengan kasus ini rasanya tidak perlu panjang lebar karena disini siswa/siswi sebagai objek analisa psikologis. Dan yang diperlukan pembaca dalam hal ini orang tua atau guru lebih pada, kenapa dan bagaimana solusinya (how to). Begitu pun bahasan untuk catatan ‘Hati-hati membuat soal’. Perlukah menuliskan secara detail definisi evaluasi? Guru yang pembaca buku ini tentu tahu definisi evaluasi secara teoritis. Jika orang tua dan siswa/siswi yang membaca buku ini rasanya sudah cukup tahu apa itu evaluasi. Penjelasan teoritis apa itu evaluasi malah terasa menggangu dan seperti membaca teks pelajaran. Padahal inti masalahnya adalah soal ujian yang ‘dibuat’ susah. Begitupun soal bahasan untuk catatan ‘Guru Tua’. Jika seorang guru mempunyai idealisme sebagai seorang pendidik sudah bisa dipastikan dia kompeten sebagai guru (dengan atau tanpa sertifikat kompetensi) masalahnya adalah bagaimana jika idealisme itu terkikis beragam kebutuhan termasuk materi.
Lalu ada pembahasan psikologis yang berulang dengan isi hampir sama yaitu mengenai kecerdasan majemuk (hal 42 dan 52). Untuk kasus ini mungkin editornya kurang jeli ya seperti halnya ada kalimat yang sama yang dituliskan Gita Lovusa dan Irmayanti (173 dan 178), tanpa penjelasan siapa mengutip siapa. Dan sangat sayangkan rujukan yang digunakan Gita Lovusa untuk pembahasan psikologisnya hanya mencantumkan alamat situs (hasil googling?) tidak dibuat halaman daftar pustaka secara khusus dengan rujukan ilmiah lain sehingga lebih professional.
Lepas dari semua kekurangan buku ini pantas direkomendasikan untuk para guru dan orang tua.
‘Guru bisa memberi anak lebih banyak dari hanya sekedar nilai; harga diri, semangat, rasa hormat dan kecintaan pada ilmu’. (hal 82). (rs)
NB:bicara soal cover soal buku lebih pada soal selera tapi saya kurang sreg dengan buku bergambar wajah ‘modeling’ atau orang (bukan kartun). Apa kebanyakan buku terbitan FLP seperti ini ya…btw, sekali lagi ini soal selera, don’t judge the book by the cover…
0 komentar:
Posting Komentar